Minggu, 12 April 2009

Paradigma Baru Perguruan Tinggi

Oleh ZA Adiwijaya

ADA pergeseran paradigma pendidikan tinggi di Indonesia. Dahulu, paradigma pendidikan tinggi kita berbasis keilmuan (konten), tetapi sekarang bergeser menjadi berbasis kompetensi. Kenapa?

Indonesia telah memasuki suatu era yang cukup memprihatinkan, khususnya bidang pendidikan. Lulusan perguruan tinggi kita relatif tidak berguna. Ketika telah selesai menempuh kuliah di perguruan tinggi dan meraih gelar sarjana, lulusan kita banyak tidak bisa apa-apa. Pengangguran sangat banyak, sepertinya lulusan pendidikan tinggi tidak bisa berbuat sesuatu yang berarti bagi dirinya maupun lingkungannya. Bahkan banyak sarjana yang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sampai-sampai banyak ditemui di sekitar kita, calon-calon sarjana yang bukannya senang tetapi takut dan stres, akibat bingung mau berbuat apa? Lalu, pendidikan tinggi itu mendidik apa?

Padahal pada tahun-tahun mendatang, antar negara tidak akan ada lagi batas. Lulusan dari mana pun bebas mau bekerja di mana saja. Lulusan perguruan tinggi Malaysia bisa bekerja di Indonesia, atau di negara mana saja. Begitu juga lulusan Indonesia bisa bersaing di negara mana pun. Sudah cukup kompetenkah lulusan kita untuk bersaing dengan sarjana dari luar negeri, baik yang mau bekerja di Indonesia maupun di luar negeri? Sulit bagi kita untuk menjawab "siap".

Dari latar belakang itulah, Dirjen Dikti Depdiknas mensosialisasikan paradigma baru yang harus dilakukan pendidikan tinggi kita, yaitu pendidikan berbasis kompetensi. Apa artinya? Yakni lulusan perguruan tinggi kita harus kompeten, mampu bersaing dengan lulusan dari negara mana pun, lulusan kita dapat diterima oleh pengguna (user) karena memang match dengan dunia kerja. Dengan kata lain, kurikulumnya harus berbasis kompetensi.

Masalahnya adalah, sudahkah perguruan tinggi peka dalam merespons fenomena pendidikan global ini? Rencana strategis apa dan rencana operasional apa yang harus diambil oleh perguruan tinggi. Hanya sedikit perguruan tinggi kita yang mengerti betapa penting lulusan yang kompeten di dunia kerja, termasuk perguruan tinggi negeri sekalipun.

Berbasis Kompetensi

Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam budaya akademik modern. Pertama, ku-rikulum program studi harus berbasis kompetensi dan silabus dari kurikulum tersebut harus terus dikaji apakah sudah sesuai dengan kebutuhan dunia kerja atau belum. Kedua, proses pembelajaran yang terkendali. Ketiga, standar output yang terjamin.

Kurikulum berbasis kompetensi tidak bisa ditelorkan oleh seorang pakar, tetapi harus mela-lui proses workshop bersama, baik dari kalangan akademisi maupun dari kalangan user. Workshop ini harus dapat mengawinkan dunia akademis dengan dunia kerja dan menelorkan kurikulum dan silabus berbasis kompetensi. Kurikulum tersebut harus terus dievaluasi karena fenomena terus berkembang. Tidak ada yang stagnan dalam dunia pendidikan berbasis kompetensi.

Kurikulum itu akan menjadi "menu makanan" mahasiswa sedangkan kandungan gizinya tergantung dari muatan silabus yang diberikan oleh dosen-dosen pengampu. Oleh karena itu kajian-kajian mata kuliah keahlian khususnya, harus terus dilokakaryakan, baik oleh pakar akademik maupun praktisi yang membidangi agar dosen-dosennya paham apa yang harus diberikan pa-da mahasiswa. Program kerja ini sangat penting di perguruan tinggi. Lulusan pendidikan tinggi ti-dak boleh lagi awang-awangen, kelabu dan tidak jelas di mata user.

Dalam kancah perguruan tinggi kita sangat jarang ditemui lokakarya yang mengarah pada kualitas lulusan yang dikehendaki user ,termasuk pemerintah kita, baik Depdiknas maupun Kopertis. Seharusnya di tangan merekalah kewajiban memperbaiki kualitas anak bangsa. Perguruan tinggi juga tidak boleh menerima begitu saja. Kalau pemerintah tidak mampu menerjemahkan kebutuhan pendidikan tinggi kita, maka perguruan tinggi sendiri yang harus memanfaatkan manajemen berbabasis universitas (otonomi). Karena alam akan menyeleksi, perguruan tinggi mana yang pantas menjadi rujukan anak-anak bangsa untuk belajar. Kita kadang malu, budaya akademik diterjemahkan perbaikan kulit, sedangkan isi pendidikan masih dibiarkan kosong.

Perencanaan akademik yang berbasis kompetensi saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi de-ngan pengendalian proses pembelajaran. Dosen-dosen pengampu harus melakukan kontrak pembelajaran dengan ketua program studi dan program studi berhak mengevaluasi dosen tentang kontrak pembelajarannya. Program studi harus menjadi ujung tombak kualitas lulusan. Sayang-nya banyak program studi di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia yang tidak mendapatkan keleluasaan mengelola mahasiswa, baik dari segi partisipasi anggaran maupun kewenangan kualitas lulusan. Partisipasi penyusuan anggaran dan kewenangan kualitas lulusan masih ba-nyak ditangani oleh petinggi di

Perlu Survei Kepuasan Pelanggan

  • Relasi PT dan Masyarakat

“Sebagian besar manajemen Perguruan Tinggi di era globalisasi pendidikan kini bak onani. Mereka terus memproduksi produk layanan pendidikan tinggi yang ujung-ujungnya duit, tetapi tidak pernah melakukan koreksi, apalagi refleksi diri apakah produk layanan pendidikan tinggi yang ditawarkan dalam iklan-iklan tersebut diterima atau justru sebaliknya oleh masyarakat, konsumen pendidikan tinggi” (Sarah, How To Correct University’s Mistakes, 2002: 234, diterjemahkan oleh Anita Lie, 2003).

Apa yang disampaikan Sarah Aaron di atas adalah salah satu wujud kealpaan (mistake) manajemen PT di banyak negara yang menganut liberalisasi pendidikan. Hasilnya? masyarakat, calon mahasiswa dan konsumen pendidikan hanya dijadikan ’’pembeli’’ pasif-submisif tanpa diperlakukannya sebagai “partner” dialogis untuk mencapai “kepusan bersama”.

Alih-alih manajemen PT semakin sadar dengan posisi strategisnya masyarakat selaku konsumen pendidikan tinggi, yang terjadi justru sebaliknya. Manajemen PT terus membombardir produk layanan dengan berbagai iklan yang menggiurkan, tetapi di saat yang sama mereka lupa apakah produk layanan tersebut benar-benar produk yang dibutuhkan dan diharapkan oleh konsumen pendidikan itu sendiri.

Praktik demikian juga ternyata kini marak dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pasca pemberlakukan UU BHP, pendidikan tinggi seolah melulu urusan materialisme, kapitalisme dan liberalisme tanpa banyak menyentuh berupaya meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaan dan iptek apalagi keberpihakan kepada kepentingan publik. Padahal amanat ini jelas menjadi salah satu falsafah pendidikan kita, seperti tertuang dalam UUD 19945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kepuasan Pelanggan

Di era liberalisasi pendidikan tinggi dewasa ini, memang menjadi keniscayaan bahwa manajemen PT harus kreatif dan inovatif sehingga mampu bersaing dan mendapat keuntungan setinggi-tinggi demi perbaikan dan peningkatan produk PT tersebut.

Produk layanan inovatif dimaksud adalah survey layanan kepuasan pelanggan. Produk layanan ini kini mulai banyak dikembangkan PT di negara-negara maju,†termasuk Jepang. Hampir semua PT di negeri Sakura tersebut telah menerapkan sistem manajemen PT berbasis masyarakat (community-based development). Hal ini menjadikan masyarakat selaku konsumen pendidikan tinggi. Bukan saja menjadi partner pendanaan PT, tetapi juga menjadi media “koreksi” atas berbagai produk layanan PT tersebut.

Survey kepuasan pelanggan yang dilakukan secara rutin tiap enam bulanan tersebut, memiliki visi dan misi yang amat demokratis, baik dilihat dari independensinya masyarakat/ mahasiswa selaku pelanggan untuk menyampaikan segala unek-unek, atau kebebasan berpendapat demi perbaikan pengelolaan pendidikan tinggi itu sendiri.

Metode survey menggunakan dua cara, yakni manual dengan menyebar ribuan kuesioner ke berbagai komponen masyarakat atau elektronik dengan memanfaatkan media internet yang bisa diakses dari berbagai penjuru.

Academic Office dan student support center menjadi agen yang akan mengolah data base kepuasan pelanggan tersebut dan kemudian mendiskusikannya, melakukan check and recheck, cross-check ke berbagai pihak berkompeten untuk selanjutnya melakukan launching berlabel “survey kepuasan pelanggan” (CSS-Customer Satisfaction Survey).

Melalui survey semacam itu, manajemen PT menjadikannya sebagai salah satu strategi utama untuk terus meningkatkan mutu layanan pendidikan tinggi. Dari hasil CSS itu pula manajemen PT mendasarkan langkah-langkah manajerial, administratif, dan pengembangannya sehingga apa yang dilakukan manajemen PT adalah apa yang menjadi kebutuhan dan harapan konsumen pendidikan itu sendiri. Komunikasi solutif demikian, menjadikan manajemen PT semakin kokoh dan kuat dari segi dukungan pendanaan publik ataupun berbagai pihak stakeholders lainnya.

Dari model CSS yang dikelola secara profesional ini, ada dua keuntungan sekaligus. Pertama, secara internal, manajemen PT semakin yakni bahwa apa yang selama kurun waktu tertentu dilakukan baik dalam produk layanan terkait dengan pengembangan SDM, model pembelajaran, kurikulum, jaminan mutu lulusan, manajemen Teknologi informasi hingga urusan pengembangan sumber daya PT lainnya termasuk pemasaran dan ekspansi iptek, sinkron dengan apa yang menjadi masalah publik, bahkan bangsa dan negara.

Tak ada istilah ’’onani’’ seperti disebutkan Sarah di atas karena dasar perbaikan PT benar-benar bukan sekadar ’’perkiraan’’ atau ’’asal tebak’’ manajemen PT, tetapi benar-benar dari sebuat survey-riset yang menyeluruh yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, mencegah vandalisme publik, serta pembangkangan-pembangkanan terkait regulasi dan kebijakan pendidikan tinggi. Melalui CSS yang kredibel tersebut, secara eksternal, justru sangat menguntungkan konsumen itu sendiri sehingga mengurangi bahkan mencegah produk layanan pendidikan tinggi yang telah dikeluarkan justru menjadi polemik dan apalagi biang konntroversi.

Tak heran apabila di negara-negara maju, khususnya Jepang, produk regulasi/kebijakan kampus ditentang dan ditolak justru oleh konsumen terdekat kampus sendiri (mahasiswa). (Tasroh - 80)
Prospek Pendidikan Maritime di Indonesia

Bogor, CyberNews. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) bekerjasama dengan Hochschule Bremen-University of Applied Sciences dan Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB akan mengadakan pendidikan Double Degree Program on Master ”Port, Shipping and Logistic Management” (MPSLM) yang terdiri dari 3 atau 4 semester. Dalam program ini akan melingkupi 30% materi Hukum dan Bisnis Administrasi, 30% Technology and Engeneering, 30% Management Incl. SSO/CSO/PFSO Certificate, dan 10% Soft Skills.

Hal tersebut mengemuka pada CEO Forum bertajuk ”The International Trend on Port, Shipping and Logistic Business” di Kampus MB IPB Jl Pajajaran, Bandung. Acara yang dibuka oleh Direktur MB IPB Dr Ir Arief Daryanto MEc, ini menghadirkan pembicara Prof Capt Peter Andre Irminger dari University of Applied Science-Bremen Germany, dan Kepala PKSPL IPB Prof Dr Tridoyo Kusumastanto MS.

Dalam sambutannya, Dr Arief Daryanto menyambut baik dan menyatakan kesiapan IPB khususnya MB IPB untuk bekerjasama dengan University of Applied Science Germany yang berkedudukan di Bremen, Germany. Terkait dengan topik bahasan CEO Forum saat itu, Dr Arief menilainya sebagai topik yang sangat penting.

Ada tiga alasan yang ia kemukakan. Pertama, spesialisasi di IPB adalah Agribisnis yang melihat pertanian sebagai sebuah sistem mulai dari ladang hingga aspek bisnis. Kedua, fakta bahwa wilayah Indonesia mayoritas adalah perairan, dimana sekitar 2/3 wilayah adalah laut.

Ketiga, MB IPB saat ini sedang dalam proses pemantapan untuk sebuah spesialisasi dalam analisis mata rantai program kerjasama dengan Maastricht School of Management, dimana manajemen pelabuhan menjadi bagian mata rantai yang penting.

Kepala PKSPL IPB Prof Dr Tridoyo Kusumastanto MS menyampaikan makalah berjudul ”Prospek Pengembangan Bisnis Port, Shipping dan Logistic”. Disebutkan, disaat pendidikan tinggi Indonesia menghadapi persoalan tingginya angka pengangguran kalangan terdidik dari kalangan perguruan tinggi, di sisi lain ada kesempatan yang terbuka lebar untuk bekerja di kapal-kapal asing.

”Permintaan pelaut dunia hingga 2010 sejumlah 40.000 orang, sementara Indonesia baru bisa mengisi dari peluang itu, 500 orang per tahunnya. Dalam konteks ini, pendidikan maritime memiliki posisi yang penting dan strategis untuk melahirkan lulusan yang berkualitas sesuai standar International Maritime Organizations (IMO). Oleh karena itu, perlu ada penyamaan langkah dan strategi dalam pengembangan pendidikan tinggi maritime dari para stakeholder,” urai Prof Tridoyo.

Sementara itu, Prof Capt Peter Andre Irminger lebih banyak mengupas pendidikan maritime di Bremen. Di akhir bahasan, ia menyebutkan prospek pendidikan maritime di Indonesia diantaranya dengan meningkatkan kualifikasi tenaga pengajar dan profesional di bidang maritim. Selain para mahasiswa Pascasarjana MB-IPB, CEO Forum juga dihadiri oleh Wakil Rektor IPB Bidang Riset dan Kerjasama Dr Ir Anas Miftah Fauzi MEng, dan sejumlah perwakilan dari pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.

Pendidikan Tinggi di Era Neoliberalisme

Oleh: Eddy Nurcahyono

HAMPIR semua bangsa di dunia menempatkan pendidikan pada posisi yang tinggi. Nyaris tak ada suatu bangsa yang melecehkan pendidikan bagi bangsanya sendiri. Mereka sangat menyadari kemajuan bangsa ditentukan oleh kepandaian generasi baru dari bangsa itu sendiri. Karena itu perhatian terhadap pendidikan tak pernah kurang. Demikian pula dengan Indonesia.

Berbagai perubahan terus terjadi dengan argumentasi perbaikan sistem. Sangat banyak perubahan yang selama ini dialami sistem pendidikan di Indonesia, mulai zaman Belanda, sejak merdeka hingga sekarang. Dewasa pendidikan di Indonesia berada pada era yang oleh sebagian orang disebut sebagai neoliberalis.

Menurut Mansour Fakih, neoliberalis adalah bangkitnya kembali bentuk baru aliran ekonomi liberal lama. Mengapa yang lama bangkit kembali, karena berkaitan dengan pasang surut dari sistem itu sendiri sejak pertama diimplementasikan .

Liberalis sebagaimana diketahui digagas oleh ekonom Inggris Adam Smith tahun 1776. Kemudian menjadi faham yang mendunia dan sempat bertarung dengan sistem komunis. Pada liberalisme terdapat pengagungan prinsip laissez faire. Pada sistem ini mekanisme pasar yang bekerja. Deregulasi dan penghilangan semua rintangan birokratis di banyak sektor dilakukan demi menjamin terwujudnya free trade atau perdagangan dan persaingan bebas. Sistem ini sejak awal dianut oleh banyak negara Eropa dan Amerika.

Namun pada tahun 1930 terjadi great depression (depresi besar) yang membuat jatuh pendukung sistem ini. Atas saran John Maynard Keynes, seorang ekonom Inggris kemudian dijalankan full employment yang nantinya berperan strategis bagi perkembangan kapitalis dunia. Pemerintah diberi peran untuk terlibat dalam sistem yang diperbaharui itu. Konsentrasinya pada penciptaan lapangan kerja yang luas. Penciptaan lapangan kerja dibutuhkan agar orang memiliki penghasilan dan pada akhirnya mampu melakukan pembelian produk pabrik kapitalis.

Kondisi itu berjalan namun pada akhir abad 21 kapitalis mengalami kesulitan lagi. Tingkat profit menurun dan terjadi penurunan akumulasi kapital. Juga terjadi krisis ekonomi kembali terutama di banyak negara berkembang. Itu kemudian mendorong untuk menengok kembali ke abad 19 ke sistem kapitalis murni. Didukung oleh runtuhnya Uni Soviet yang mengembangkan sistem komunis yang lawan utama liberal, maka semakin terbuka untuk kembali mengembangkan sistem kapitalis murni seperti abad 19.

Paham liberalis ini kemudian diskala globalkan. Munculnya kembali paham liberalisme sesuai dengan formatnya yang lama dan berskala global ini yang disebut neoliberalisme.

Antisubsidi

Sejak krisis ekonomi dan menjalin hubungan dengan IMF, Indonesia melakukan pemotongan subsidi di berbagai bidang. Yang menonjol adalah pemotongan subsidi pada BBM, listrik, dan pendidikan terutama pendidikan tinggi. Selain itu juga dilakukan privatisasi beberapa perusahaan yang sebelumnya dimiliki negara.

Subsidi dalam segala hal memang ditentang neoliberal karena tidak sehat untuk pasar bebas. Syarat yang ditentukan oleh IMF membuat Indonesia masuk dalam lingkaran neoliberal. IMF adalah kepanjangan dari kepentingan kaum kapitalis dunia yang berkehendak kembali ke sistem ekonomi liberal murni sebagaimana di abad yang lalu.

Neoliberalis yang dirasakan dunia pendidikan sekarang ini adalah terjadinya pengurangan subsidi pendidikan. Perguruan tinggi negeri harus menjadi badan yang mandiri. Subsidi yang dulu dilakukan terhadap SPP mahasiswa semakin berkurang. Subsidi dan campur tangan pemerintah di hampir semua sektor memang tidak disukai neoliberal. Kemungkinan besar di masa mendatang akan terjadi privatisasi sekolah dan universitas. Itu sesuai dengan semangat neoliberal persaingan bebas.

Karena sumber pendapatan perguruan tinggi yang terbesar adalah dari mahasiswa, maka upaya mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya terus dilakukan oleh perguruan tinggi. Berbagai model dalam menerima mahasiswa baru dilakukan dengan maksud meraup jumlah mahasiswa sebanyak-banyaknya yang artinya mendapat penghasilan yang banyak pula.

Beberapa PTN favorit untuk kepentingan penggalian sumber dananya dengan membukaj alur non -SPMB dengan menetapkan sumbangan puluhan juta rupiah. Sasaran bidiknya keluarga kaya. Dari situ diharapkan dapat diraup dana banyak untuk memenuhi keperluan operasional yang sekarang harus dibiayai sendiri.

Ada juga perguruan tinggi yang menerima alumni sekolah lanjutan atas yang tamat namun belum memiliki STK (Surat Tanda Kelulusan) dalam status mahasiswa percobaan. Itu dilakukan agar bisa merekrut mahasiswa baru sebanyak-banyaknya yang artinya pula sumber pendapatannya banyak.

Sebenarnya menerima mahasiswa tamat namun belum memiliki STK akan memunculkan akibat cukup rumit di masa mendatang. Misalnya mengenai kesanggupan mahasiswa tersebut untuk mendapatkan STK. Ketika ia duduk di bangku perguruan tinggi ia harus menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus yang jelas beda dengan suasana waktu di sekolah lanjutan atas. Kemudian ia akan disibukkan dengan aktivitas perkuliahan di perguruan tinggi. Belum lagi jika ia juga aktif di kegiatan kemahasiswaan.

Semua itu membutuhkan energi, waktu dan juga biaya yang tidak sedikit.

Masalahnya adalah apakah yang bersangkutan masih sempat menyiapkan dirinya dengan baik. Untuk mendapatkan STK ia harus ujian lagi yang berarti ia harus belajar menyiapkan diri. Kemampuannya membagi waktu dan konsentrasi diragukan.

Secara psikologis juga bisa membuat yang bersangkutan minder karena hanya tamat namun belum punya STK. Kemungkinan kawannya memang tidak tau namun yang bersangkutan tentu berperasaan rendah diri. Kondisinya yang berada pada lingkungan baru yang beda dengan saat ia menjadi siswa dan kemukingan tingkat kecerdasan kawan-kawannya yang lebih tinggi bisa mempengaruhi mentalnya. Jika itu terjadi maka yang bersangkutan sebagai mahasiswa akan sulit mengembangkan dirinya.

Masalah lain yang dihadapi adalah jika mahasiswa yang bersangkutan kemudian gagal memperoleh STK. Menurut SK Mendiknas No 17/U/2003 hanya siswa yang memiliki STK yang bisa ke perguruan tinggi. Jika dikemudian hari mahasiswa yang bersangkutan gagal memperoleh STK konsekuensinya ia harus keluar. Kerugian akan dialami oleh mahasiswa yang bersangkutan.

Secara psikologis perguruan tinggi mestinya juga berat untuk melepas mahasiswanya yang sudah berkuliah beberapa semester. Apalagi jika ternyata dalam perkuliahan menunjukkan prestasi yang cukup baik. Perguruan tinggi akan menghadapi dilematis karena jika tetap mengizinkan terus berkuliah tidak sesuai dengan kelayakan bahwa yang bisa melanjutkan kuliah adalah mereka yang lulus atau memiliki STK.

Bagi mahasiswa yang bersangkutan juga bisa mengalami tekanan mental yang cukup berat. Ia mengalami kegagalan dua kali. Bisa menamatkan sekolah lanjutannya namun tidak berhasil memiliki STK dan ditambah kegagalannya menyelesaikan kuliahnya.

Barang Mahal

Yang jelas pilihan calon mahasiswa sekarang banyak karena diperebutkan tidak hanya oleh PTS namun juga oleh PTN. Calon mahasiswa dari keluarga kaya dengan prestasi akademik kurang pun bisa menyandang kehormatan menjadi mahasiswa perguruan tinggi favorit karena terdapat sistem khusus nonPMB dengan sejumlah biaya tertentu yang besar sebagai kompensasinya.

Namun yang harus diuji nanti apakah yang bersangkutan mampu sukses menyelesaikan studinya sama seperti mereka yang menempuh jalur biasa dengan seleksi akademik yang ketat. Jika tidak mampu akan berguguran di tengah jalan yang artinya pula mereka hanya menjadi suporter dana bagi perguruan tinggi yang menerimanya.

Kesempatan orang kaya memilih perguruan tinggi memang selalu lebih banyak daripada orang miskin. Dengan adanya model seleksi yang target sebenarnya adalah mendapatkan sumber dana sebesar-besarnya, maka mereka yang berasal dari keluarga kaya meskipun prestasi akademiknya tidak bagus memiliki kesempatan yang besar.

Lalu bagaimana dengan calon mahasiswa dari keluarga miskin. Meskipun masih terbuka masuk ke perguruan tinggi favorit dengan mengandalkan prestasi akademiknya namun kendala biaya rutin akan dihadapinya. Semakin menurunnya subsidi pada pendidikan semakin besar biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh rakyat. Kemungkinan besar di masa mendatang mayoritas rakyat menatap pendidikan tinggi sebagai barang mewah yang mahal.

Itulah efek dari neoliberalis yang merasuk ke bidang pendidikan. Dengan dihapuskannya beberapa subsidi pendidikan yang tidak disukai oleh neoliberal mengharuskan perguruan tinggi menggali sumber-sumber yang dapat membiayai operasionalnya. Karena itu semuanya menjadi mahal.

Neoliberalis memang tidak pernah mengenal manusiawi, tidak pernah perduli terhadap hak rakyat untuk mendapat pendidikan di segala level. Yang dipentingkan oleh neoliberalis adalah sistem bebas agar bisa akses di semua bidang dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. (18)

-Eddy Nurcahyono,SH, staf pengajar Akademi Teknik Adiyasa Surakarta

Mencari Model Kolaborasi PTN, PTS, dan Asing

MENGIKUTI pendidikan pasca sarjana di negeri Sakura, Jepang, sungguh nikmat. Sebagai peserta didik tugas belajar tersebut, penulis berkesempatan untuk mengikuti berbagai model dan gaya pendidikan tinggi Jepang yang selama ini tak tersentuh (dan mungkin luput dari perhatian banyak pihak).

Ada salah falsafah pendidikan (tinggi) di negeri Taro Aso itu yang sebenarnya bisa dikembangberdayakan sebagai alternatif manajemen pendidikan tinggi di tanah air, Indonesia. Salah satunya adalah spirit “kolaborasi” di antara tiga pilar pendidikan tinggi yakni PT milik pemerintah, Swasta dan PT asing.

Seperti dilaporkan the Japan Times (JP), koran Jepang berbahas Inggris, bahwa menyongsong millenium baru ini, Jepang merupakan salah satu dari 8 negara di dunia yang paling “menarik” untuk dijadikan contoh manajemen pendidikan (tinggi).

Di samping Amerika, Inggris, Jerman, Prancis, Kanada, Belanda, Australia, Negeri Sakura tersebut adalah contoh terbaik bagi negara-negara Asia bagaimana mengelola pendidikan tinggi menghadapi persaingan global dewasa ini (JP, 29/11).

Contoh terbaik tersebut berupa kemampuan manajemen perguruan tinggi melakukan berbagai bentuk kerjasama, kolaborasi, dan konsolidasi internal dan eksternal, bukan semata-mata untuk bersaing di antara mereka dalam merebut “pasar” pendidikan tinggi, tetapi justru untuk “bergandengan tangan”.

Benar bahwa setiap PT harus mampu bersaing dengan PT lain untuk terus melakukan terobosan-terobosan manajemen pendidikan tinggi sesuai dengan kebutuhan dan trend iptek yang terus berkembang, tetapi jangan lupa bahwa masing-masing lembaga pendidikan tinggi itu memiliki tujuan yang sama nan suci: mencerdaskan kehidupan bangsa, guna membangun kebudayaan dan peradaban yang lebih baik.

Generasi bangsa yang lahir dari “rahim” perguruan tinggi setelah mereka lulus dari bangku kuliah akan menghadapi persoalan yang sama, tanpa harus melihat si x lulusan PT negeri atau swasta, PT asing atau apalah namanya. Yang diharapkan oleh bangsa dan masyarakat adalah bagaimana para lulusan itu turut memecahkan masalah bangsa dan negara, dan bukan malah sebaliknya menjadi beban masyarakat-bangsa.

Saling Menjatuhkan

Berangkat dari persoalan tersebut, masing-masing perguruan tinggi semestinya bekerja bersama, bersaing bukan dalam rangka saling menjatuhkan apalagi sengaja “mematikan” sumber rejeki satu dengan lainnya, tetapi justru berkolaborasi.

PTN memiliki aset, sumber daya dan fasilitas pendidikan yang lebih baik dari PTS karena PTN telah sekian lama menikmati fasilitas subsidi negara sebelum terjun ke dalam persaingan bebas pendidikan tinggi.

Sementara PTS sejak jaman bahoela sudah terbiasa hidup “seorang diri” tanpa banyak campur tangan dan bantuan dari pihak luar termasuk pemerintah. keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tak perlu dipertentangkan untuk alat “saling menjegal”, tetapi justru sebaliknya sebagai peluang untuk melakukan banyak kolaborasi positif.

Apalagi era free market pendidikan tinggi dewasa ini telah hadir banyak PT asing yang dikelola oleh orang asing dengan modal asing dan manajemen gaya asing. Banyak PT domestik (PTN/PTS) yang justru menilai alergi datangnya pesaing baru sehingga merengek-rengek minta perlindungan pemerintah dengan berbagai dalih.

Deru persaingan antar PT akan semakin kencang, dan PT yang justru protektif dari spirit kolaborasi, seperti disampaikan pakar pendidikan Amerika, Edward Spykle (2008) dalam “Collaborative Inter and IntraUniversity”, akan mati dengan sendirinya.

Bukan lantaran tidak menjadi pilihan calon mahasiswa, tetapi justru karena ia menutup diri dari dunia luar, dari era kolaboratif yang kian urgen diperlukan dewasa ini. Spyke menyebutkan bahwa “deru persaingan” antar PT kini tak lagi mengenal batas teritorial, karena sesuai kesepakatan “perdagangan bebas” yang telah disepakati antar negara, dunia pendidikan adalah salah satu icon yang “bebas” untuk “diperdagangkan”.

Siapa yang terbiasa merengek-rengek minta subsidi, sedikit-sedikit minta bantuan dan serba tergantung, atau menghalang-halangi datangnya pemain dan pesaing baru dalam pendidikan (tinggi), tidak kreatif menciptakan berbagai terobosan manajemen pendidikan tinggi, seperti fenomena yang banyak berkembang akhir-akhir ini, justru akan menjadi “korban” pertama dalam gerusan roda globalisasi pendidikan.

Model Kolaborasi

Menghadapi kondisi tersebut, PT domestik kini memang sudah saatnya melepaskan baju dikotomi “negeri dan swasta” karena label tersebut pasca-”otonomi kampus” semestinya sudah tak layak dipertentangkan. Jika diperlukan justru terus menggalang kolaborasi dengan semua pihak termasuk di antara PT domestik tersebut bahkan dengan PT asing.

Di negeri Sakura, model-model kolaborasi antar PT (PT milik pemerintah, swasta dan asing) dapat dilihat dalam tiga bentuk/ model. Pertama, kolaborasi menyangkut peluang akses pengembangan iptek.

Di antara tiap PT memiliki keunggulan sumber daya iptek masing-masing. Keunggulan tersebut bisa didistribusikan dalam bentuk nyata berupa pertukaran tenaga pengajar, mahasiswa atau administrasi pendidikan tinggi diantara mereka.

Pertukaran tenaga pengajar dan civitas akademika dimaksud bukan sekadar saling berkunjung temporal (sporadis) seperti gaya anggota dewan yang ’’pura-pura’’ studi banding tetapi sebenarnya ’’plesiran’’ doang, tetapi betul-betul terumuskan dalam indikator kolaboratif iptek yang komprehensif.

Selama ini sudah ada beberapa PT yang mau melakukan langkah ini, tetapi belum integratif karena melupakan para tenaga adminsitrasi dan manajemen kampus itu sendiri.

Belum ada pertukaran iptek dan manajemen pendidikan tinggi datang dari pihak manajemen kampus, para tenaga administrasi. Yang sering terjadi justru “bolak-balik” pertukaran dosen dan mahasiswa tanpa menyertakan tenaga bidang administrasi.

Padahal mutu output pendidikan tinggi tak melulu dari dosen/ mahasiswa an sich, tetapi justru yang menghasilkan output manajemen dan administrasi sebagai indikator “kinerja PT” justru aspek manajemen ini. Sayangnya, hal ini menjadi perhatian pengambil keputusan di PT dalam negeri.

Kedua, kuliah lintas PT. Kini jaman teknologi informasi (TI) sehingga waktu dan tempat kuliah, menghadiri acara-cara akademik tak lagi secara manual di lakukan “physic a physic”, tetapi dapat dengan bantuan TI seperti kuliah bersama antar PT dari berbagai belahan dunia dalam satu waktu.

Sebesar 90% PT di Jepang telah melakukan langkah ini, dan terbukti efektif untuk meningkatkan kompetensi civitas akademik dalam mengembangkan PT tersebut. Bahkan melalui model kolaborasi demikian, masing-masing PT dapat saling menjajaki sekaligus berbagi pengalaman tentang berbagai hal (iptek) lintas negara/PT.

Ketiga, berbagi kurikulum dan model pembelajaran. Dewasa ini kurikulum tiap PT sudah saatnya untuk “melihat dunia luar”, “dunia nyata”, tanpa harus kehilangan spirit akademiknya. PT di luar negeri sudah zaman melakukan sharing kurikulum dan tak ada rahasia-rahasiaan untuk masalah ini.

Demikian juga kolaborasi antar dosennya sehingga terbentuk model-model pembelajaran aktual yang dapat dijadikan rujukan bagi peningkatan mutu model pembelajaran di kampus.

Dengan cara demikian, tak ada dikotomi, model x, y atau z, dengan berbagai label dan simbol tetapi semua bisa melakukannnya (dan menerapkannya). (Tasroh, SS, mahasiswa tugas Belajar S2 di Jepang - 80)

Kompetensi Konsep Baru

Oleh JD Kuncoro

AKHIR-AKHIR ini kita semakin sering memperoleh asupan informasi yang mengandung kata kompetensi. Tampaknya beberapa pihak di negeri ini mulai berharap banyak terhadap konsep kompetensi untuk menyelesaikan masalah terpenting saat ini, yaitu kualitas sumber daya manusia (SDM).

Kata kompetensi memang bukan barang baru, namun dalam perkembangannya wacana tersebut mengalami berbagai pengka-yaan isi dan bahkan reposisi para-digma, sehingga kemudian kita kenal berbagai definisi tentang kompetensi yang muncul dari berbagai pakar manajemen, di mana dua definisi tidak selalu persis satu sama lain namun esensisnya sama.

Sebut saja definisi ala Hay Group, Mc Clelland, Boyatzis, Spencer & Spencer, Rotwell & Dubois, dll.

Namun sebelum saya masuk membahas tentang seluk beluk kompetensi, akan saya uraikan terlebih dahulu mengapa kompetensi menjadi penting akhir-akhir ini. Berangkat dari penelitian yang dilakukan oleh David Ber-ew dan Mc Clelland melalui McBer and Company di Amerika Serikat pada awal tahun tujuh puluhan terhadap para Foreign Service International Officers (FSIOs), yaitu para diplomat muda dari Departemen Luar Ne-geri Amerika Serikat yang bertugas mewakili negaranya di luar negeri.

Selama ini (maksud saya se-belum penelitian ini), rekrutmen terhadap mereka dilakukan me-lalui metoda rekrut yang standar, yaitu menggunakan ujian masuk Foreign Service Officer. Ujian masuk ini berisi pengetahuan tentang Negara Amerika Serikat dan pengetahuan khusus sesuai bi-dang masing-masing. Mereka yang dinyatakan lulus adalah me-reka yang memiliki nilai tinggi dalam ujian tersebut. Jadi yang menjadi penekanan di sini adalah nilai hasil ujian yang tinggi dija-dikan dasar utama dalam mere-krut pegawai. Apa yang terjadi kemudian? Ternyata perolehan nilai hasil ujian yang tinggi tersebut tidak ada hubungannya dengan prestasi kerja seseorang setelah diterima bekerja sebagai diplomat. Mereka yang diterima ternyata tidak semua menunjuk-kan kinerja yang sama baiknya dengan nilai ujian mereka. Me-mang ada yang kinerjanya baik, tetapi tidak kurang pula yang kinerjanya sedang-sedang saja sampai buruk.

Jika demikian apa masalahnya? Mengapa faktor kecerdasan bukanlah jaminan terhadap ki-nerja atau sukses seseorang da-lam bekerja? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menggelitik para peneliti di McBer and Company untuk melakukan studi le-bih lanjut mengenai hal ini. Mereka kemudian memulai penelitian ini dengan terlebih dahulu mengelompokkan para diplomat muda tersebut ke dalam dua ke-lompok, yaitu pertama, mereka yang berdasarkan data yang ada termasuk berkinerja tinggi, sangat berbakat dan berkemampuan tinggi atau yang disebut superior performer. Sementara kelompok yang kedua adalah mereka yang disebut kelompok mediocre atau yang kinerjanya sedang-sedang saja.

Para peneliti menggunakan metoda Behavioral Event Interview (BEI ) untuk mewawancarai mereka (para diplomat muda tersebut) secara mendalam dari sisi apa yang telah mereka laku-kan selama ini. Hasilnya me-mang sangat menarik, di mana ternyata memang terdapat perbedaan dari sisi karakter pribadi yang terwujud dalam perilaku kerja di antara mereka yang ber-kinerja tinggi dengan mereka yang berkinerja sedang-sedang saja. Bahkan perbedaan karakter dan perilaku tersebut sangatlah nyata secara statistik. Karakter-karakter yang mendasari perilaku untuk mencapai kinerja tinggi itulah yang kemudian disebut sebagai kompetensi.

Dari sini kemudian istilah kompetensi semakin popular dan mengalami berbagai pengkayaan isi, variasi serta fungsi. Penggunaan kompetensi sendiri di dalam organisasi juga semakin luas mencakup hampir kesemua fungsi manajemen sumber daya manusia.

Bagi saya, hal yang paling penting dari hasil penelitian tersebut adalah ditemukannya suatu tesis yang bisa menjawab dengan tepat suatu pertanyaan penting: Apa penyebab dari kinerja tinggi (superior performance)? Mengapa si A bisa berkinerja sedemiki-an baiknya sementara si B tidak?

Jawabannya jelas yaitu karena kompetensi.

Semakin Penting

Dari berbagai literatur yang menjelaskan tentang kompetensi, tampaknya terdapat kesepahaman bahwa kompetensi didefinisikan sebagai sekumpulan pe-ngetahuan, keterampilan dan si-kap (PKS) dan karakter pribadi yang lain, yang mendasari perilaku seseorang untuk menghasil-kan kinerja tinggi. Kompetensi tersebut haruslah bersifat observable (dapat diamati), measurable (dapat diukur) upgradeable (da-pat ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan) dan de-monstrable (dapat dibuktikan).

Dengan demikian menjadi jelas sekarang betapa pentingnya kompetensi bagi siapa pun, baik itu individu-individu seperti kita, organisasi-organisasi, perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN, lembaga-lembaga pemerintahan, bahkan bagi bangsa ini. Karena, ternyata dari kompetensi, kinerja dihasilkan. Dari kinerja, prestasi diperoleh. Dari kinerja, efisiensi dan efektifitas didapat.

Adakah tujuan lain dari proses berbangsa dan bernegara ini selain menghasilkan prestasi sebaik mungkin? Adakah suatu lembaga atau orgnaisasi yang bertujuan untuk tidak menghasilkan kinerja?

Jadi, menjadi jelas sekarang bahwa kompetensi merupakan jalan yang harus dilalui oleh bangsa ini untuk mencapai kesejajaran dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Karena kompetensi membuat persoalan-persoalan kualitatif menjadi kuantitatif. Dengan demikian menjadi lebih mudah diukur dan dikembangkan. Misalnya saja kualitas sumber daya manusia.

Dalam sudut pandang kompetensi, kualitas hanyalah soal level atau tingkatan. Anda berada di level kompetensi berapa. Bila masih di level tiga, padahal persyaratannya level enam, maka Anda harus meningkatkan kompetensi Anda menuju level enam.

Contoh lain adalah bila di dalam suatu lembaga angka pertikaiannya tinggi sehingga sangat mengganggu kinerja lembaga. Bagi kompetensi, itu hanyalah soal rendahnya kompetensi teamwork (kemampuan bekerja sama), rendahnya kompetensi relationship building (kemampuan membina hubungan), kurangnya integrity (integritas pribadi), rendahnya flexibility (kemampuan untuk beradaptasi dalam situasi yang berbeda) dsb.

Semua jenis kompetensi tersebut bisa diamati, bisa diukur dan bisa ditingkatkan. Maka semuanya menjadi lebih jelas bukan?

Sederhana? Memang tidak, karena dalam praktiknya memerlukan keterampilan-keterampilan yang tidak sederhana. Namun paling tidak, apabila alat yang kita gunakan untuk memperbaiki kualitas SDM itu jelas, dalam arti teknik penggunaannya sistematis, batasan-batasannya jelas, pengukuran hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, cara meningkatkannya juga realistis dan visible, niscaya hasilnya pun menjadi lebih menjanjikan. Maka tidak heran apabila pegawai negeri di Amerika dan Inggris juga telah menggunakan model kompetensi untuk mengelola SDM nya.

Mengapa di Indonesia tidak? Di sini memang baru pada tataran perusahaan, baik swasta nasional maupun BUMN yang telah menggunakannya. Namun saya kira kompetensi bisa mulai diperluas penggunaannya ke seluruh negara secara bertahap. Inilah langkah abad ini yang sangat relevan untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang pada dasarnya berakar dari rendahnya kualitas SDM kita.

Jalan Penghubung

Lantas apa yang terjadi dengan dunia pendidikan kita? Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia pendidikan formal kita memang belum mampu menghasilkan output dengan standard kompetensi yang diharapkan oleh pasar tenaga kerja. Inilah barangkali salah satu penyebab ironi di bidang ketenagakerjaan, di mana kita saksikan begitu besar angka pengangguran di negeri ini, tetapi di sisi lain tidak sedikit perusahaan swasta yang merasa kesulitan untuk mencari tenaga kerja sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan.

Perolehan kompetensi SDM kita, terutama pada ranah hard competency (knoledge & skill), memang selama ini dapat disediakan oleh pendidikan nonformal, seperti lembaga kursus, lembaga pelatihan, dan sebagainya. Namun alangkah indahnya apabila lembaga pendidikan formal juga menghasilkan output kelulusan yang mempunyai standard kompetensi sesuai permintaan pasar.

Kita memang telah mendengar suatu wacana tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sudah dirumuskan dan diujicobakan oleh lembaga pendidikan formal. Suatu berita bagus yang kita tunggu-tunggu hasilnya, apakah benar-benar dapat memperbaiki kualitas lulusan. Namun kualitas lulusan hasil dari Kurikulum Berbasis Kompetensi ini masih harus diuji oleh waktu. Apakah dapat memenuhi harapan atau tidak. Untuk itu perlu keterlibatan dunia bisnis swasta dan BUMN. Mereka perlu didengar dan diajak bicara, dalam rangka menyamakan bahasa dan persepsi antara kedua pihak, yaitu bagaimana kita memaknai SDM dari sisi kualitasnya. Jangan sampai lembaga pendidikan formal menjadi terlalu elitis dan bahkan mengasingkan dirinya dari dunia bisnis yang nota bene adalah customer mereka.

Inilah barangkali ironi kedua di mana antara provider (dunia pendidikan formal) dan customer-nya (dunia bisnis swasta dan BUMN) berjalan sendiri-sendiri, di tengah-tengah arus wacana yang sangat customer centric dewasa ini. Saya kira apa yang telah dilakukan oleh Unika Soegijapranata dengan membentuk Forum Bisnis bersama para pengusaha perlu diacungi jempol. Suatu bentuk kesadaran baru yang perlu terus-menerus diwacanakan.

Maksud dari tulisan ini sebenarnya tidak lain adalah untuk menemukan jalan penghubung antara dua tujuan yang sama namun berbeda arah, yaitu antara dunia pendidikan formal dan dunia bisnis swasta.

Melalui bahasa kompetensi, saya memandang kita dapat bergerak ke arah yang sama. Walaupun masih memerlukan proses panjang untuk menyamakan bahasa dalam memaknai arti kompetensi di antara kedua belah pihak, karena apabila kacamata yang digunakan berbeda, saya khawatir justru tidak cukup mempunyai daya ungkit untuk memperbaiki keadaan, yaitu bagaimana mempertemukan kualitas lulusan dunia pendidikan formal dan kualitas SDM yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja. (24)

JD Kuncoro, Direktur Competency Center, Jakarta

Kejar Paket C, Pendidikan Alternatif

  • Oleh Zulkifli Agus Piliang

BANYAKNYA siswa SMA yang tidak lulus ujian Nasional (UN) membuat program Kelompok Belajar (Kejar) Paket C ramai dibicarakan. Di antaranya mereka yang setuju Kejar Paket C sebagai solusi atau jalan ke luar bagi siswa yang tidak lulus. Mereka melihat peluang bagi siswa yang tidak lulus untuk ikut ujian Paket C agar tetap bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Namun ada juga yang menolak Kejar Paket C dengan alas an justru merugikan siswa, karena jurusan dan jenis sekolah ini tidak sama dengan yang selama ini diikuti siswa.

Dari kalangan siswa sendiri terjadi pro dan kontra. Bagi yang pro melihat Kejar Paket C sebagai jalan keluar menuju perguruan tinggi, sedang yang kontra menganggap dengan ikut mereka seakan jatuh martabat. Apalagi sebelumnya sekolah mereka favorit. Tidak imbang, antara favorit dengan Kejar Paket C yang dalam pandangan mereka sebagai lembaga pendidikan "kelas bawah".

Terlepas dari semua pendapat di atas program Kejar Paket C dapat disimpulkan ternyata belum dikenal masyarakat. Tidak heran jika mereka kurang menyukai program ini. Bukankah tak kenal maka tak sayang?

Pengertian

Pendidikan kesetaraan meliputi program Kejar Paket A setara SD ( 6 tahun) , Paket B setara SMP ( 3 tahun ), dan Paket C setara SMA ( 3 tahun ). Program ini semula ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung, tidak pernah sekolah, putus sekolah dan putus lanjut, serta usia produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidup.

Disamping itu dimaksudkan juga untuk masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai dampak dari perubahan peningkatan taraf hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tidak ada batasan usia dalam program kesetaraan ini. Pegawai negeri, ABRI, anggota DPR, karyawan pabrik banyak yang memanfaatkan program kesetaraan ini untuk meningkatkan kualifikasi ijazah mereka.

Definisi mengenai setara adalah sepadan dalam civil effect, ukuran, pengaruh, fungsi dan kedudukan. Sebagaimana yang tercantum dalam UU No 20 / 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 26 Ayat (6) bahwa " Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan."

Oleh karena itu pengertian pendidikan kesetaraan adalah jalur pendidikan nonformal dengan standar kompetensi lulusan yang sama dengan sekolah formal, tetapi kontens, konteks, metodologi, dan pendekatan untuk mencapai standar kompetensi lulusan tersebut lebih memberikan konsep terapan, tematik, induktif, yang terkait dengan permasalahan lingkungan dan melatihkan kecakapan hidup berorientasi kerja atau berusaha sendiri.

Dengan demikian pada standar kompetensi lulusan diberi catatan khusus. Catatan khusus ini meliputi: pemilikan keterampilan dasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Paket A), pemilikan keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, dan pemilikan keterampilan berwirausaha (Paket C).

Perbedaan ini oleh kekhasan karateristik peserta didik yang karena berbagai hal tidak mengikuti jalur pendidikan formal karena memerlukan substansi praktikal yang relevan dengan kehidupan nyata.

Kekuatan Tersendiri

Saat ini reformasi kurikulum pendidikan kesetaraan sedang diarahkan untuk mewujudkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif bagi semua peserta didik pendidikan kesetaraan yang selama ini cenderung termajinalkan. Semua pihak perlu memperoleh kesempatan untuk dapat mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional dan sosial, intelektual, serta kinestetik.

Dari fenomena yang ada, penulis curiga mereka menganggap bahwa ikut UN Kejar Paket C akan otomatis lulus. Belum tentu. Semuanya tetap tergantung kemampuan mereka. Materi ujian Kejar Paket C juga dibuat oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional RI, bukan dibuat oleh lembaga penyelenggara program tersebut di daerah.

Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih induktif, konstruktif, serta belajar mandiri melalui penekanan pada pengenalan permasalahan lingkungan serta pencarian solusi dengan pendekatan antarkeilmuan yang tidak tersekat-sekat sehingga lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Berkaitan dengan itu, sistem pembelajaran ( delivery system ) dirancang sedemikian rupa agar memiliki kekuatan tersendiri, untuk mengembangkan kecakapan komprehensif dan kompetitif yang berguna dalam meningkatkan kemampuan belajar sepanjang hayat. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih induktif dan konstruktif.

Proses pembelajaran pendidikan kesetaraan lebih menitik beratkan pada pengenalan permasalahan lingkungan serta cara berfikir untuk memecahkannya melalui pendekatan antardisiplin ilmu yang relevan dengan permasalahan yang sedang dipecahkan. Untuk itu, penilaian dalam pendidikan kesetaraan dilakukan dengan lebih mengutamakan uji kompetensi.

Diharapkan reformasi kurikulum pendidikan kesetaraan dapat diluncurkan pada akhir tahun 2006 yang disusun bersama Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP ) berdasarkan hasil uji coba dan masukan dari berbagai nara sumber.

Sebagai Alternatif

Sebagaimana dijelaskan dalam UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan dapat bersifat formal, nonformal dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar (SD dan SMP), pendidikan menengah (SMA/SMK) dan pendidikan tinggi (perguruan tinggi). Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal, yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (seperti Kejar paket A, Kejar Paket B, dan Kejar Paket C). Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pendidikan nonformal atau yang lebih dikenal dengan istilah Pendidikan Luar Sekolah (PLS) ini, sebagaimana dijelaskan di atas diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Pendidikan luar sekolah berfungsi mengembangkan potensi peserta didik/ warga belajar dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Philip H Coom seorang sarjana barat mendifinisikannya sebagai beberapa aktivitas pendidikan yang terorganisasi di luar sistem formal yang telah berdiri. Apakah itu beroperasi secara terpisah atau sebagai pengenalan pada kegiatan yang lebih luas yang ditujukan untuk membantu mengidentifikasi pelajar/warga masyarakat dan bahan pengajaran.

Pendidikan luar sekolah ini menurut UU No 20/2003 meliputi pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan (Kejar Paket A,B, dan C), serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik/warga belajar.

Dari uraian di atas bisa dilihat kedudukan program Kejar Paket C tidak lebih rendah dari SMA. Yang membedakan hanya jalurnya. Yang satu formal dan yang satu lagi nonformal yang diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo sendiri menegaskan semua perguruan tinggi (PT) harus mau menerima siswa lulusan ujian nasional (UN) Kejar Paket C. Tidak boleh ada perguruan tinggi yang menolak siswa lulusan Kejar Paket C. Itu semua hak warga negara. (Suara Merdeka, 27/06/06).

Jadi, kini terserah kepada siswa yang tidak lulus UN SMA beberapa waktu lalu, mau ikut ujian nasional (UN) Kejar Paket C atau tidak. Jika mereka ikut, dan mampu lulus (tidak ada jaminan mereka pasti lulus begitu saja), dapat melanjutkan ke perguruan tinggi yang diinginkan. Kejar Paket C juga ada jurusan IPA serta jurusan IPS dan Bahasa sesuai dengan jurusan yang ada di SMA.

Belum Tentu Lulus

Dari fenomena yang ada penulis curiga mereka menganggap bahwa ikut UN Kejar paket C akan otomatis lulus. Belum tentu. Semuanya tetap tergantung kemampuan mereka. Materi ujian Kejar Paket C juga dibuat oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional RI, bukan dibuat oleh lembaga penyelenggara program tersebut di daerah.

Ujian nasional Kejar Paket C IPS materinya meliputi mata pelajaran PPKn, Bahasa Inggris, Sosiologi, Tatanegara, Bahasa dan Sastra Indonesia, dan mata pelajaran Ekonomi. Sedang untuk Kejar Paket C IPA meliputi mata pelajaran PPKn, Bahasa Inggris, Biologi, Kimia, Bahasa dan Sastra Indonesia, Fisika, dan Matematika.

Untuk Kejar Paket C Bahasa, ujian nasionalnya meliputi mata pelajaran PPKn, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Sejarah Budaya, Sastra Indonesia dan Bahasa Asing Pilihan.

Nilai kelulusan secara akumulatif dari seluruh mata pelajaran yang diujikan tanpa ada nilai kurang dari 3,01 pada setiap mata ujian, untuk Kejar Paket C IPS dan Bahasa jumlah akumulatifnya adalah adalah 28,5 sedang untuk Kejar Paket C IPA jumlahnya adalah 33,25.

Melihat materi yang diujikan, adalah sangat keliru bila beranggapan Kejar Paket C hanya program "ecek-ecek" yang gampang untuk lulus atau tidak setara dengan SMA. Mau bukti? Coba dulu ikut ujian nasional (UN) Kejar Paket C 28 Juli mendatang. Pendaftaran terakhir 7 Juli 2006 di semua Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota se- Indonesia. Biayanya,gratis! (11)

- Drs.Zulkifli Agus Piliang, penilik PLS Cabang Dinas Kecamatan Genuk Semarang.

Karimunjawa dan Wedung Dijajaki sebagai Desa Vokasi

SEMARANG - Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) Regional II Jateng-DIY yang sebelumnya Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional III, pada 2009 akan membuat desa vokasi. Hal itu untuk mendukung Jawa Tengah sebagai provinsi vokasi (kejuruan) yang sudah digulirkan Gubernur Mardiyanto dan dilanjutkan oleh Gubernur Ali Mufiz.

”Provinsi vokasi itu harus memiliki kabupaten/kota vokasi. Agar bisa menjadi kabupaten/kota vokasi maka harus didukung oleh kecamatan dan desa vokasi,” jelas Kepala P2PNFI Regional II Jateng-DIY Dr H Ade Kusmiadi MPd, saat ditemui di kantornya di Jl Diponegoro 250 Ungaran, baru-baru ini.

Tujuan kebijakan itu lebih memberdayakan masyarakat bukan hanya dengan keterampilan dari pendidikan formal, tapi juga dari sekolah informal. ”Intinya, memberikan pendidikan keterampilan kepada masyarakat agar belajar mengembangkan budaya entrepreneurship.”

Dia menjelaskan, salah satu model desa vokasi yang berhasil ialah di Chiang Mai, Thailand. Pemerintah setempat berhasil memberikan pengarahan dan keterampilan kepada masyarakat desa itu dalam hal membudidayakan dan mengembangkan ulat sutra.

”Pola pembinaannya multisektor, terigentrasi, dan jauh dari unsur politis. Mengenai pemasaran produknya, sepenuhnya dibantu pemerintah kabupaten/kota setempat,” tandasnya.

Terjunkan Tim

Ade juga mengatakan, pada akhir 2008 ini pihaknya mencari desa atau dusun yang tepat untuk dijadikan model percontohan desa vokasi atau desa vokasi binaan pendidikan nonformal (PNF).

”Kami membidik sebuah desa di Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara dan sebuah dusun di Desa/Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak.”
Ade mengaku sudah menerjunkan tim untuk melakukan pembicaraan awal dengan para pejabat terkait di dua wilayah kabupaten tersebut.

Ade Kusmiadi yang juga mantan kepala BPPNFI Regional II Bandung itu mengatakan, lembaganya pada 1993 pernah membuat sekolah PNFI di Pulau Panjang, Banten, Jabar. Sebab, pada saat itu masyarakat setempat belum terlayani pendidikan formal.

”Prinsip P2PNFI adalah menjangkau yang belum terjangkau dan melayani yang belum terlayani. Mudah-mudahan saja model yang ada di Chiang Mai, Thailand atau yang sudah kami terapkan di Banten bisa dilakukan di Karimunjawa atau di Wedung.” (D6-71)

Problem Pendidikan Islam Masa Kini

  • Oleh Syaefudin

ISTILAH pendidikan Islam dipergunakan dalam dua hal, yaitu: satu, segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa. Dua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam.

Apakah problematika Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini? Salah satu cara adalah melihat pendidikan Islam di Indonesia sebagai bagian dari seluruh jenis pendidikan yang ada dan kemudian mengkaji persoalan terdapat dalam dunia pendidikan Islam.

Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini ialah bagaimana mempersiapkan generasi muda, agar memiliki kemampuan di kemudian hari untuk menjawab segenap tantangan yang mereka hadapi secara memadai.

Saya kira ke dalam sistem pendidikan Indonesia sekarang perlu dimasukkan sejumlah perbaikan atau penyesuaian untuk membuatnya mampu melahirkan angkatan yang makin cerdas dan makin terampil.

Menjadi kewajiban sistem pendidikan di Indonesia untuk membekali generasi muda sekarang ini dengan pengetahuan yang relevan, keterampilan yang memadai dan watak atau karakter yang dapat diandalkan, agar timbul barisan pengelola masyarakat dan bangsa yang mampu menjawab tantangan secara cepat dan manusiawi.

Problematika kedua yang dihadapi sistem pendidikan di Indonesia ialah perluasan sistem, yaitu menambah daya tampung sistem, sehingga sistem pendidikan Islam tidak hanya melayani anak-anak usia sekolah melalui pendidikan formal saja, melainkan melayani masyarakat melalui sistem pendidikan non-formal. Akhir-akhir ini kehausan masyarakat kita akan pengetahuan tentang agama Islam sangat meningkat. Sistem pendidikan non-formal merupakan satu-satunya sarana memenuhi kebutuhan tersebut.

Di masyarakat muncul berbagai lembaga untuk memenuhi permintaan akan pengetahuan agama, misalnya lembaga dakwah, kelompok pengajian, kuliah subuh, dan sebagainya. Ini semua dapat dipandang sebagai modal untuk mengembangkan sistem pendidikan non-formal.

Mampukah kita mengembangkan lembaga pendidikan non-formal yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat? Dapatkah kita mengembangkan lembaga pendidikan yang akan mampu mencegah bangsa kita menjadi buta agama? Inilah problem pendidikan nasional kedua yang sudah mulai terasa dewasa ini. Pada dasarnya ada dua acara pendidikan nasional yang perlu dilaksanakan yakni peremajaan sistem, dan pengembangan sistem pendidikan nonformal.

Apakah sumbangan yang dapat diberikan oleh pendidikan Islam di Indonesia untuk membantu pendidikan nasional mengembangkan diri, sehingga ia mampu melahirkan angkatan baru dalam masyarakat Indonesia yang kian lama kian cerdas, kian terampil dan kian bijaksana, dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang dihadapinya?

Sistem dan Struktur

Ada dua hal yang perlu dikaji mengenai Pendidikan Islam Indonesia sebagai suatu sistem, yaitu mengenai hubungannya dengan keseluruhan sistem pendidikan; dan mengenai struktur internal yang terdapat dalam tubuh Pendidikan Islam Indonesia .

Dalam soal peremajaan sistem pendidikan formal, pendidikan Islam merupakan semacam "beban" yang harus diangkat oleh induknya, yaitu sistem pendidikan nasional pada umumnya. Sedangkan dalam soal pengembangan pendidikan nonformal, ia menjadi "pelopor" yang tak mudah diikuti. Pendidikan Islam di Indonesia yang ada pada saat ini dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:

Satu, Pendidikan Pondok Pesanten, ialah Pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional bertolak dari ajaran Alquran dan Al- Hadis, dan merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan para siswa sebagai jalan hidup (way of life);

Dua, Pendidikan Madrasah, ialah pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga model Barat yang mempergunakan metode pengajaran klasikal dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa;

Tiga, pendidikan umum yang bernafaskan Islam, ialah pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum.

Empat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga pendidikan umum sebagai mata pelajaran saja. Mengenai pendidikan jenis pertama (pondok pesantren) dan kedua (madrasah) tidak ada masalah. Mengenai pendidikan Islam jenis ketiga (pendidikan umum yang bernafaskan Islam, ialah lembaga pendidikan seperti Universitas Islam, pada tingkat pendidikan tinggi; SMA, pada tingkat pendidikan menengah. Sedangkan SD dan SMP, pada tingkat pendidikan dasar.

Mengenai Pendidikan Islam jenis keempat, yaitu pelajaran agama Islam di sekolah umum, ada sedikit tambahan. Kegiatan pendidikan Islam jenis ini pada umumnya merupakan pendidikan keislaman yang sangat terbatas cakupannya dan banyak pihak yang berpendapat, bahwa kegiatan ini sebenarnya sukar dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, dan lebih tepat kalau disebut sebagai kegiatan pengajaran.

Pendidikan Islam Indonesia dapat diandalkan untuk memelopori kegiatan pengembangan sistem pendidikan nonformal dalam masyarakat. Sedangkan pendidikan Islam di madrasah serta lembaga pendidikan umum yang bernafaskan Islam merupakan wahana yang dapat dipergunakan oleh umat Islam untuk ikut mendorong lahirnya proses peremajaan sistem pendidikan formal .

Pendidikan Islam jenis keempat, yaitu pelajaran agama Islam di sekolah umum merupakan kegiatan dengan posisi yang bersifat marginal. Artinya tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para pendidik Islam lewat pendidikan jenis ini untuk memberikan sumbangan yang berarti bagi lahirnya proses peremajaan sistem pendidikan .

Kekuatan utama, dari pondok pesantren sebagai lembaga penyelenggara pendidikan nonformal terletak pada kemampuannya untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada segenap golongan umur dan masyarakat.

Di lain pihak, keterbatasan yang terdapat pada pondok pesantren sebagai pusat pendidikan non-formal ialah bahwa pelayanan pendidikan yang diberikannya kepada masyarakal terpusat pada soal keagamaan semata-mata. Padahal kebutuhan masyarakat luas akan pelayanan pendidikan di masa sekarang meliputi berbagai macam jenis, seperti kesehatan, pertanian, berbagai jenis teknologi, pengetahuan umum, dan sebagainya.

Dua Jalur

Proses peremajaan sistem pendidikan formal perlu dilakukan lewat dua jalur kegiatan, yaitu: jalur kegiatan untuk mengangkat mutu pendidikan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah; dan jalur kegiatan untuk mendorong sekolah dan madrasah mengantisipasi persoalan yang diperhitungkan akan muncud di masa depan. Melalui perkembangan ini, pendidikan formal kita akan mampu melahirkan angkatan-angkatan yang makin takwa, makin cerdas dan makin terampil (11).

- Drs Syaefudin, MPd. alumnus S2 konsentrasi Manajemen Pendidikan Universitas Islam.

SAMBUNG RASA

Bantuan Pendidikan

Tanya : Bapak Gubernur, bagaimanakah realisasi bantuan pendidikan pada 2006 ini? Terima kasih. Wijanarko Jl Brotojoyo, Kota Semarang

Jawab:

Saudara Wijanarko, sebagaimana diketahui bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga.

Salah satu implementasinya adalah dalam bentuk pelaksanaan pendidikan, yaitu formal oleh pemerintah, nonformal oleh masyarakat, dan informal oleh keluarga.

Sayangnya, kenyataan masih menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat terhadap pendidikan nonformal dan informal belum seperti yang diharapkan.

Oleh karena itulah, pemerintah berupaya semaksimal mungkin memberikan perhatian yang besar terhadap bidang pendidikan, termasuk dalam hal pendanaan. Dengan keterbatasan yang ada, pemerintah secara bertahap dan terus-menerus tetap mengupayakan peningkatan anggaran pendidikan.

Pada Tahun Anggaran (TA) 2005, alokasi anggaran pendidikan melalui APBD Provinsi Jawa Tengah sebesar 12,58% per tahun. Pada 2006 ini meningkat menjadi 15,09%, dan pada 2007 mendatang ditargetkan meningkat lagi menjadi 17,5%. Dengan demikian, pada TA 2008 diharapkan target 20% dari total APBD sudah dapat terpenuhi.

Secara terperinci, pada APBD Provinsi Jateng 2006 total alokasi dana bantuan pendidikan dari Dana Dewan Pendidikan sekitar Rp 182 miliar. Jumlah tersebut belum termasuk yang ada dalam DASK Dinas P dan K Provinsi Jawa Tengah. Dari total alokasi dana bantuan tersebut, pada 25 Februari 2006 telah diserahkan bantuan tahap I sebesar Rp 36,11 miliar lebih di Gradhika Bhakti Praja.

Dana Gempa

Kemudian pada 6 April 2006 di Purbalingga, saya juga menyerahkan bantuan tahap II sebesar Rp 26,64 miliar lebih. Bantuan tahap III saya serahkan pada 2 Mei 2006 di Kabupaten Cilacap sebesar Rp 73,72 miliar lebih.

Adapun penyerahan bantuan tahap IV dilaksanakan pada 7 November 2006 di Kota Surakarta sebesar Rp 43,67 miliar lebih. Jumlah itu sudah termasuk bantuan dana sebesar Rp 5 miliar dari DASK Dinas P dan K Provinsi Jawa Tengah yang diperuntukkan bagi percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi sarana prasarana pendidikan di Jawa Tengah yang rusak akibat bencana gempa bumi.

Bantuan dana pendidikan tersebut merupakan implementasi dari kebijakan pembangunan bidang pendidikan di Jawa Tengah, yang antara lain diarahkan untuk: 1) Memperluas dan meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan di berbagai jenjang, jenis, dan jalur pendidikan; 2) Meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri; 3) Meningkatkan kualitas layanan penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal; serta 4) Meningkatkan manajemen pendidikan yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sejalan dengan itu, saya berharap agar bantuan tersebut benar-benar dapat didayagunakan secara maksimal dan optimal, tepat sasaran, tepat waktu, tepat mutu, dan tepat administrasi. Dalam artian, bagi penerima bantuan tahap I, II, dan III, hendaknya segera menyelesaikan fisik bangunan maupun kelengkapan administrasi. Demikian pula untuk pembangunan penanganan gedung sekolah yang rusak karena gempa bumi, hendaknya memperhatikan standar bangunan tahan gempa, sehingga memberikan keselamatan dan keamanan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu saya tekankan, sejalan dengan paradigma otonomi daerah maka pelaksanaan pembangunan termasuk bidang pendidikan menjadi kewenangan kabupaten/kota.(60a)

Investasi buat Provinsi Pendidikan

  • Oleh: Sucipto Hadi Purnomo

MEWUJUDKAN Jawa Tengah sebagai provinsi pendidikan. Itulah impian terbaru yang mengemuka dari para stakeholder pendidikan di provinsi ini. Sebuah impian yang segera menerbitkan harapan baru, sekalipun terasa mengagetkan jika mengingat selama ini investasi pada proyek untuk "mengatasi kodrat dan keterbatasan-keterbatasan manusiawi" ini baru sebatas manis di bibir namun terasa pahit di dalam pelaksanaan.

Akankah provinsi pendidikan bernasib sama dengan impian lama yang ditebarkan para penguasa dan telah menjelma jadi utopia itu? Akankah ia bernasib sama dengan janji mewujudkan sekolah gratis ataupun target menjadikan seluruh warga provinsi ini bebas buta aksara? Puluhan sekolah unggulan, kelas imersi, dan kelas akselerasi serta penyematan berbagai label lain yang menampakkan "standar internasional", cukupkah sebagai modal untuk mewujudkan impian itu?

Marilah kita simak modal kuantitatif yang telah dipunyai Jawa Tengah di sektor ini. Pada tataran yang paling elementer, kiranya perlu untuk menilik lebih dahulu prestasi yang teraih dari program pemberantasan buta huruf melalui program keaksaraan. Hingga satu setengah tahun lalu, sebagaimana dilaporkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, penduduk buta huruf di provinsi ini 729.488 orang dengan usia 14-44 tahun.

Terhadap tingginya angka buta huruf pada usia produktif, pemerintah bukannya tinggal diam. Terus saja diupayakan agar mereka melek huruf melalui pendidikan nonformal yang setiap tahun programnya diperluas. Ada program kejar paket A yang setera dengan SD, kejar paket B yang sederajat dengan SMP, dan kejar paket C yang selevel dengan SMA. Tiap-tiap jenjang diikuti ribuan orang.

Tentu saja seiring dengan kian banyak orang yang mengikuti upaya itu, makin sedikitlah penduduk buta huruf, makin meningkat pula akses masyarakat terhadap salah satu katup pengaman dari kemiskinan itu.

Sebagai pembanding, sekalipun pemberantasan buta huruf di Indonesia sudah berlangsung sepanjang usia negeri ini, data Badan Pusat Statistik 2003 menunjukkan, penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas masih 9,07 % atau sekitar 15,5 juta yang tersebar di semua provinsi.

Putus Sekolah

Di tengah-tengah tantangan seperti itu, angka putus sekolah tetap saja tinggi. Pada tahun yang sama, penduduk usia produktif yang putus sekolah dasar 462.425 orang, putus sekolah lanjutan tingkat pertama 136.046 orang, dan yang putus sekolah lanjutan tingkat atas 56.213 orang. Memang, sebagaimana dilaporkan Prof Dr Mayling Oey-Gardiner (2004), angka partisipasi murni siswa sekolah dasar di Jawa Tengah 94,1% -sebuah angka yang tergolong tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Namun masih saja terjadi disparitas kesempatan mendapatkan pendidikan antara anak yang tinggal di desa dan di kota.

Makin tinggi jenjang pendidikan itu, tidak hanya makin menurun angka partisipasinya, tetapi juga kesenjangan antara kota dan desa kian menganga. Di jenjang SD, angka partisipasi siswa yang tinggal di kota 93,3%, sedangkan yang tinggal di desa justru lebih tinggi, 94,1%. Sebaliknya, pada jenjang SMP dan sederajat, angka partisipasi di kota 70,3%, sedangkan di desa 60,8%.

Pada tingkat SMA dan sederajat, dengan rata-rata angka partisipasi murni hanya 38,2%, angka partisipasi siswa yang tinggal di kota 49%, sedangkan siswa yang tinggal di desa hanya 29,3%.

Dibandingkan dengan yang diraih Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), prestasi itu sungguh tertinggal jauh. Angka partisipasi murni siswa SMA di provinsi tetangga itu 60 %. Mungkin akan ada yang mengatakan, tidak proporsional membandingkan pendidikan di Jawa Tengah dengan wilayah yang mendapat predikat kota pelajar itu. Sebab, secara kultural kesadaran akan arti penting pendidikan jauh lebih tinggi.

Namun persoalannya bukankah tidak hanya berkisar pada masalah kultur, tapi aksesibilitas warga terhadap lembaga pendidikan. Di sana, SD hingga SMA tersebar hingga ke pelosok desa. Sebaliknya, di Jateng , sekolah setingkat SMP dan SLTA baru dapat ditemui pada tingkat kecamatan. Malahan tidak semua kecamatan memiliki SLTA.

Mengapa itu terjadi? Salah satu penyebabnya adalah keminiman investasi di bidang pendidikan. Baik pemerintah maupun investor swasta tampak masih enggan menanamkan investasi di bidang ini. Mereka lebih tertarik menanamkan modalnya di bidang industri. Padahal, investasi di bidang pendidikan merupakan investasi jangka panjang untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk masa mendatang. Kalau SDM-nya payah, investasi berapa pun akan menjadi mubazir. Pendidikan, itulah investasi jangka panjang.

Dengan mengutip hasil peneltiian Bank Dunia yang disajikan dalam World Development Report 1980, Prof Dr Dietriech G Bengen DEA mengemukakan, pengembalian ekonomi terhadap investasi pada tingkat pendidikan dasar paling tinggi di antara semua tingkat pendidikan. Selain itu, tingkat pengembalian ekonomi terhadap investasi paling tinggi terjadi di negara miskin.

Pada negara berpendapatan rendah, tingkat pengembalian rata-rata atas investasi pada pendidikan dasar 27% dan pada negara berpenghasilan menengah 22%. Untuk pendidikan menengah, gambaran yang sama adalah 17% dan 14%. Adapun untuk pendidikan tinggi 13% dan 12%.

Belum memadainya angka partisipasi murni, memang bukan hanya pada persoalan kesadaran dan hal-hal yang bersifat sosiokultural. Kemampuan mengakses lembaga pendidikan yang jelas-jelas berkait erat dengan faktor ekonomi, dalam banyak hal lebih sering mengemuka. Sampai-sampai muncul ungkapan bernada skeptis, orang miskin tidak hanya tak boleh sakit, tapi juga dilarang sekolah. Maklumlah berobat dan bersekolah di negeri ini mahalnya minta ampun bagi mereka yang masih melarat secara ekonomi.

Berbagai program memang lebih diluncurkan untuk menanggulangi hal itu lewat pemberian beasiswa dan berbagai subsidi lain, meski kabar tentang penyimpangan anggaran pendidikan oleh tangan-tangan kekuasaan tetap menghiasi berbagai halaman surat kabar. Namun tetap saja laju angka putus sekolah bisa direm secara efektif dan keberdayaan untuk mengakses sekolah meningkat pesat.

Di luar itu, persoalan yang menyangkut sarana dan prasarana pendidikan dan ketidaksejahteraan guru kian waktu makin menumpuk. Pemberlakuan kurikulum, profesionalisme pengelolaan pendidikan, dan manajemen peningkatan mutu pendidikan tetap saja menjadi masalah abadi yang nyaris tak kunjung menampakkan kemajuan berarti.

Di jenjang perguruan tinggi, kondisinya juga tak benar-benar menggembirakan. Memang pengelolaan pendidikan tinggi pada tiga dekade terakhir ini telah mampu memperluas kesempatan memperoleh pendidikan tinggi bagi kelompok umur 19-24 tahun. Namun harus diakui, masih terdapat kelemahan bagi upaya peningkatan mutu proses dan lulusan perguruan tinggi. Di provinsi ini, perguruan tinggi baru bermunculan, sementara di antara sedikit yang sekarat dan gulung tikar, lebih banyak yang mengepakkan sayapnya seraya mengukuhkan diri sebagai universitas/institut/sekolah tinggi/akademi favorit.

Namun alih-alih mengembangkan perguruan tinggi menjadi universitas riset, universitas yang selangkah lagi pantas masuk jajaran badan hukum milik negara (BHMN) justru lebih gandrung untuk membengkakkan jumlah mahasiswa seraya abai terhadap persoalan mutu. Dan, lahirlah berbagai program "tumpangan" yang terselenggara di dalam kampus sendiri sampai di kelas yang "jauh sekali."

Dengan modal yang serba compang-camping macam itu masih kita terburu nafsu untuk segera bermimpi untuk segera menyematkan predikat provinsi pendidikan?

Sebagai sebuah keinginan dan tekad, tentu itu sah-sah saja dan tak ada jeleknya. Namun tekad dan hasrat saja tidak cukup jika tidak ditopang oleh langkah strategis dan konkret. Berbagai tantangan sudah tergelar wewentehan di depan mata; saatnya untuk menjawab dengan aksi nyata. Apa lagi kalau bukan pemerintah, masyarakat - terutama mereka yang memiliki kekuatan ekonomi- dan orang tua untuk tidak segan-segan berinvestasi dalam bentuk apa saja di bidang pendidikan.

Jika beberapa "orang biasa saja" telah menyuguhkan sekolah-sekolah alternatif bagi orang miskin, menjadi kewajiban pemerintah untuk menyapa dan turut mengembangkannya. Akses orang miskin terhadap lembaga pendidikan perlu ditingkatkan, bukan hanya sebagai katup pengaman atas kemelaratan, tetapi juga sebagai investasi agar mereka dapat bergerak secara vertikal. (29)

-Sucipto Hadi Purnomo, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan di Semarang.

TUGAS pokok pemerintah baik di pusat maupun di daerah adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Belakangan muncul wacana mengenai masalah pendidikan.

UUD 1945 Pasal 28C ayat (1) mengamanatkan, "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia".

Pasal 31 ayat 1 mengamanatkan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".

Berdasarkan amanat tersebut ditetapkan UU dan berbagai peraturan di bawahnya. Terakhir masalah pendidikan sebagai sebuah sistem diatur dalam UU No.20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di tingkat nasional, program yang langsung berkaitan dengan pemenuhan pendidikan dasar, sejak tahun 1994 diupayakan dalam bentuk Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.

UNESCO mencanangkan pendidikan abad XXI dengan menekankan perlunya anak didik untuk bisa berfikir (learning to think), berbuat atau melakukan sesuatu (learning to do), menghayati hidupnya menjadi seorang pribadi sebagaimana yang ia inginkan menjadi (learning to be), belajar bagaimana belajar (learning how to learn) baik secara mandiri atau bersama-sama, dan (5) bisa belajar hidup bersama dengan orang lain (learning to live together).

Di sisi lain, secara makro bidang ini dihadapkan pada dua tantangan yaitu pertama, penyelenggaraan pendidikan yang tanggap terhadap era globalisasi, sehingga mampu bersaing secara fair dan dapat bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.

Dua, pengupayaan pendidikan yang dapat membentuk pribadi yang mampu belajar seumur hidup.

Khusus di Jateng, tantangan pembangunan bidang pendidikan meliputi upaya pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan, masih rendahnya kualifikasi kompetensi, profesionalisme dan kesejahteraan guru, serta upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi siswa keluarga kurang mampu/miskin.

Pendeknya, tantangan pendidikan di Jawa tengah sesungguhnya adalah pendidikan yang murah dan berkualitas.

Kondisi Sekarang

Data di Dinas P&K Prov Jateng tahun anggaran 2004/2005 terdapat gedung SD swasta dan negeri 20.247, madrasah ibtidaiyah (MI) 3.701 , SMP (2.760), MTs (1.341), SMA (899), MA (403), SMK (810). Dari jumlah gedung sekolah tersebut sebagian mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Sebagai contoh kerusakan ruang kelas untuk SD/MI dan SMP/MTs hingga 17 April 2006 berjumlah 27.999.

Saat ini sedang direncanakan perbaikan dengan pembiayaan sharing antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kab/Kota. Untuk kualifikasi guru SD dalam tahun 2004/2005, dari sejumlah 154.999 orang yang kualifikasinya layak dan semi layak sebanyak 78%, MI dari 31.434 guru hanya 63,62%, SMP (66.234) 83,92, MTs (27.514) 69,80%, SMA (27.443) 89,48%, dan MA (10.184).76,48%, SMK (24.470) 84,58%.

Untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut, anggaran pembangunannya secara bertahap terus ditingkatkan. Untuk pendidikan tahun 2003 sebesar Rp 233.267.829.000, atau sebesar 8,92% dari total APBD Jateng Tahun 2003. Pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp317.095.924.000 atau sebesar 12,41 % dari total APBD Jateng 2004.

Tahun 2005 meningkat lagi menjadi Rp418.153.477.000,- atau sebesar 13,36% dari total APBD Jateng 2005,-. Tahun 2006 meningkat lagi menjadi Rp541.372.963.000, atau 15,09 % dari total APBD Jateng 2006.

Jumlah anggaran pendidikan tersebut belum termasuk biaya pendidikan yang dialokasikan sesuai dengan kegiatan yang ada pada dinas terkait. Untuk 2007, besaran anggaran pendidikan direncanakan 17,50 % dan tahun 2008 direncanakan dapat mencapai 20%.

Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan bidang pendidikan, antara lain kurangnya pemerataan, kualitas, relevansi pendidikan, efisiensi - efektivitas, dan belum optimalnya manajemen dan kemandirian.

Lima permasalahan tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan berbagai bentuk dan jenis pendidikan yang ada selama ini belum seluruhnya sesuai dengan tingkat kebutuhan pasar kerja, sehingga setelah anak didik selesai mengikuti pendidikan klasikal, mereka baru mampu menguasai ilmu pengetahuan secara teori, sedangkan untuk aplikasi dalam bidang-bidang pekerjaan tertentu masih memerlukan pengalaman teknis.

Oleh karena itu apabila kita berbicara tentang peningkatan kualitas pendidikan, sebenarnya bukan sekadar meningkatkan kualitas dari aspek penguasaan materi pelajaran di bangku pendidikan klasikal secara teori saja, tetapi perlu diberikan muatan-muatan lain seperti pembentukan jiwa atau sikap mental yang entrepreneurship dan praktik dengan muatan kegiatan yang mendekatkan kepada kebutuhan pasar kerja.

Dengan cara demikian maka para lulusan secara seimbang akan memiliki bekal untuk memasuki pasar kerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya lebih lanjut secara mandiri.

Kebijakan Jateng

Pemprov Jateng telah menetapkan kebijakan pembangunan bidang pendidikan 2003-2008, yang diarahkan untuk memperluas dan meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu di berbagai jenjang, jenis dan jalur pendidikan. Meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Meningkatkan kualitas layanan penyelenggaraan pendidikan formal/ nonformal. Meningkatkan manajemen pendidikan yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Khusus menyangkut upaya meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri, Pemprov memverifikasi terhadap sejumlah SMK SNBI (Sekolah Nasional Berstandar Internasional). Hasilnya, 17 SMK SNBI terpilih sebagai sekolah unggulan dan Tempat Uji Kompetensi (TUK).

Untuk menunjang crash program ini, direncanakan dalam waktu dekat ini Gubernur akan menyerahkan sejumlah bantuan untuk sarana dan prasarana TUK.

Apabila program ini lancar, pada 2007 diharapkan setiap lulusan SMK yang berkehendak langsung masuk bursa kerja, bisa mengikuti ujian sertifikasi (yang merupakan ujian di luar sistem sekolah). Bila lulus, berarti mereka merupakan tenaga kerja profesional/kompeten di bidangnya (misalnya bidang otomotif dan farming).

Sertifikasi ini tidak hanya berlaku secara nasional, tetapi juga internasional.

Sementara secara global, untuk mencapai sasaran kebijakan pembangunan bidang pendidikan tahun 2006, prioritas kegiatannya meliputi Program Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun melalui bantuan block grant rehabilitasi SD/MI dan SMP/MTs, serta pemberian beasiswa keluarga kurang mampu.

Pemberantasan buta huruf melalui keaksaraan fungsional. Penyediaan dana subsidi/hibah dalam bentuk block grant atau imbal swadaya untuk sarana prasarana, beasiswa, dan insentif pendidik dan tenaga kerja kependidikan.

Pengembangan pendidikan kecakapan hidup yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Peningkatan kompetensi dan relevansi lulusan pendidikan menengah kejuruan. Plaksanaan kelas imersi, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan (MBS dan penguatan Dewan Pendidikan), minat dan budaya baca, peningkatan dan perluasan akses jangkauan pelayanan pendidikan, peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan melalui pengadaan alat laboratorium IPA dan Bahasa serta peralatan bengkel SMK, kualitas siswa, pengembangan kurikulum, kualitas dan kualifikasi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan melalui : bimbingan teknis guru bidang studi, bantuan pendidikan D2 dan S1, bantuan Guru Wiyata Bhakti SD/MI/SDLB dan tunjangan kesejahteraan Guru dan TU PLB.

Peningkatan juga meliputi penataan sistem dan kelembagaan pendidikan, peningkatan satuan pendidikan yang bertaraf internasional. kerjasama antarlembaga pendidikan dalam dan luar negeri, antara lain melalui kerjasama dengan Negara Bagian Queensland Qustralia, fasilitasi pendidikan tinggi.

Untuk lebih mempertajam penanganan, melalui APBD Provinsi telah dialokasikan Dana Bantuan pengembangan dan Peningkatan Pendidikan, yang pelaksanaannya berdasarkan saran masukan serta pertimbangan dari Dewan Pendidikan .

Beberapa hal yang masih memerlukan perhatian kita bersama untuk lebih ditingkatkan, antara lain pembekalan pengetahuan dan keterampilan bagi siswa/ santri di pondok pesantren di luar pengetahuan bidang agama, seperti pengembangan keterampilan berbasis ekonomi produktif sebagai sebuah model.

Pengembangan dan peningkatan bidang pendidikan kejuruan. Pengembangan perpustakaan sebagai pusat studi, dan bantuan perbaikan sarana prasarana SD/MI yang kondisinya masih banyak yang rusak berat dan memprihatinkan. (11)

--- Drs. Saman Kadarisman, Kepala BIKK Provinsi Jawa Tengah

Pendidikan Menengah Pulau Parang Tak Penuhi Standar
Jepara, CyberNews. Pendidikan menengah di Desa Pulau Parang Kecamatan Karimunjawa jauh di bawah standar. Manajemen dan kualifikasi tenaga pengajar dinilai belum memadai.

Oleh karena itu, warga setempat berharap Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P & K) Kabupaten Jepara mengupayakan pembenahan.

Sekretaris Desa Parang Suyadi kepada Suara Merdeka mengatakan, masyarakat berharap besar para anak didik bisa mengenyam pendidikan menengah yang berkualitas. Namun harapan itu belum bisa terwujud hingga sekarang.

''Sampai saat ini, itu masih sebatas harapan. Memang ada kemajuan dalam beberapa tahun terakhir. Tapi kemajuan itu tak sebanding dengan harapan masyarakat,'' katanya.

Dia menjelaskan, kemajuan itu terlihat dalam dua tahun terakhir, di mana dinas terkait merealisasikan adanya SD satu atap. Para siswa yang telah lulus SD langsung bisa meneruskan sekolah ke pendidikan menengah.

Sebelumnya, para lulusan SD yang ingin meneruskan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah, harus ke Desa karimunjawa. Dari Parang menuju Karimunjawa, mereka harus menempuh perjalanan laut menggunakan perahu mesin selama lebih kurang 2,5 jam. Tapi biasanya mereka memilih indekos di Karimunjawa.

Sejak dibangun SD satu atap, para lulusan SD, baik dari SD Parang 1, SD Parang II, dan SD Parang III (di Pulau Nyamuk) bisa menempuh pendidikan sembilan tahun di desa setempat. Jumlah siswa di pendidikan menengah pertama itu sebanyak 37 anak, terdiri atas 21 anak untuk kelas 7 dan 16 anak untuk kelas 8.

Tapi, lanjut Suyadi, pengelolaan SD satu atap itu kini mulai disorot masyarakat. ''Kalau memang itu pendidikan menengah, kenapa manajemen masih dari SD. Harapan kami itu dipisah dari SD dan jadikan SMP yang sesungguhnya. Sebab animo masyarakat disini memang seperti itu,'' lanjutnya.

Kualifikasi pengajar menjadi sorotan penting. Sebab pengajar di pendidikan menengah itu adalah berkualifikasi pengajar SD. Sebanyak sembilan guru SD semuanya mengajar di ''SMP'' itu. Hanya ada satu guru, yakni guru Bahasa Inggris'' yang memenuhi kualifikasi sebagai pengajar pendidikan menengah.

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas P & K Jepara Drs Bambang Santoso MM, Selasa (22/8) mengatakan, SD satu atap di Parang memang diupayakan menjadi SMP yang sebenarnya. Selain SD Parang, yang akan diusulkan ke pusat adalah SD satu atap Desa Sukosono Kecamatan Kedung.

''Selama proses ini, kami juga mempersiapkan kepala sekolah dan tenaga pengajar yang sesuai standar, jika kelak benar-benar berdiri sendiri menjadi SMP. Ini memang butuh dukungan masyarakat setempat dan kemampuan pemerintah kabupaten,'' katanya.

Gagasan adanya SD satu atap merupakan jembatan untuk merintis berdirinya SMP, demi kemudahan akses peserta didik untuk bisa mengeyam pendidikan menengah. Pada 2006 ini Dinas P & K juga akan merealisasikan tiga SD satu atap di Kecamatan Batealit.

( sukardi/cn09 )

SEMARANG - Dirjen Dikdasmen Depdiknas Dr Ir Indra Djati Sidi mengingatkan para pejabat di lingkungan kerjanya agar tidak terjebak jeratan rutinitas kerja karena bisa mengakibatkan hilangnya kreativitas.

Padahal, kreativitas sangat diperlukan demi keberhasilan tugas di bidang pendidikan.

''Karena itu, saya minta agar seluruh pejabat di lingkungan Pendidikan Menengah Kejuruan dapat lebih kreatif dengan menajamkan sasaran program sehingga dapat menghasilkan layanan pendidikan yang memuaskan,'' katanya.

Dirjen mengatakan hal itu saat membuka Rapat Koordinasi Pendidikan Menengah Kejuruan di Hotel Patra Semarang, Senin (9/2). Rapat diikuti para Kasubdin Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan se-Indonesia, para pimpinan Bagian Proyek Dikmenjur, pimpinan PPG di lingkungan Dikmenjur dan juga para pejabat Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Ditjen Dikdasmen.

Paradigma

Indra Djati mengingatkan problem yang dihadapi jajaran pendidikan saat ini adalah sama, yaitu masih belum lengkapnya sarana maupun prasarana pendidikan yang dibutuhkan. Namun demikian, dia bertekat untuk dapat membangun sekolah kejuruan dengan memanfaatkan sarana maupun prasarana yang ada semaksimal mungkin.

Dia meminta jajarannya untuk meninggalkan paradigma lama dalam bekerja yang hanya mengharapkan segala sesuatunya harus lengkap terlebih dahulu padahal belum bekerja maksimal. ''Kalau dalam paradigma lama kita jago membuat alasan, ke depan dalam era yang penuh tantangan ini, kita harus bisa mengubah sikap. Yaitu bekerja dengan penuh kreativitas dan bekerja semaksimal mungkin,'' tegasnya.

Rakor dijadwalkan berlangsung hingga Rabu (11/2) dan diharapkan dapat menghasilkan kesamaan persepsi mengenai kebijakan dan program pendidikan menengah kejuruan. Juga adanya sinkronisasi program pembinaan dan pengembangan SMK antara Direktorat Dikmenjur, PPG lingkup Kejuruan dan Dinas Pendidikan Provinsi. (B7-63)

DALAM undang-undang, anggaran untuk pendidikan dialokasikan sebesar 20%, sehingga diharapkan pendidikan di Indonesia dapat lebih maju bila dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Pengalokasian anggaran sebesar itu kenyataannya belum dapat terealisasi sepenuhnya sampai saat ini. Penyebabnya banyak. Yang jelas anggaran untuk pendidikan sampai saat masih kurang dari kebutuhan yang seharusnya. Oleh karena itu wajarlah kalau mutu pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah.

Pendidikan tingkat menengah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah umum seperti SMA atau sejenisnya. Sedangkan pendidikan menengah kejuruan, seperti SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).

Pengelolaan dua kelompok sekolah ini sangat berbeda jauh. Untuk SMA, tujuan utamanya adalah tamatannya dapat diterima/melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan SMK tamatannya diharapkan dapat bekerja pada perusahaan/instansi/orang lain atau menciptakan lapangan kerja sendiri.

Oleh karena itu pendidikan di SMK diharapkan dapat membekali para siswaya/tamatannya berupa keterampilan yang dapat menjadi bekal hidup kelak di kemudian hari.

Untk mencetak tamatan seperti tersebut di atas dibutuhkan biaya tidak sedikit. Apalagi di SMK yang menyelenggarakan beberapa bidang keahlian (jurusan), jelas biaya sangat tinggi. Misalnya satu SMK menyelenggarakan bidang keahlian teknik mesin dan bidang keahlian Bisnis dan Manajemen, maka pengeluaran biaya untuk kegiatan belajar - mengajarnya harus selalu tersedia, kalau kegiatan itu ingin lancar.

Praktik

Secara umum kegiatan belajar- mengajar di SMK meliputi teori dan praktik. Kegiatan belajar teori pada prinsipnya sama dengan sekolah umum. Sedangkan kegiatan belajar praktik merupakan kegiatan belajar yang seharusnya lebih banyak dibanding dengan kegiatan teori. Oleh karena itu sebenarnya untuk SMK ruang teori bukan merupakan hal sangat penting, karena siswa seharusnya lebih banyak di ruang praktik.

Untuk menunjang kegiatan belajar praktik di SMK, diperlukan dana untuk penyediaan peralatan maupun bahan praktik yang dibutuhkan.

Tanpa tersedianya alat dan bahan tersebut, maka SMK akan menjadi SMK teori atau dikenal juga istilah SMK sastra. Alat dan bahan yang dibutuhkan kegiatan praktik siswa rata-rata harganya relatif mahal, sehingga untuk kelancaran praktik tersebut diperlukan biaya yang banyak/besar.

Disamping itu, untuk mencapai sasaran yang diharapkan diperlukan tenaga pengajar/guru yang mempunyai kompetensi di bidangnya. Untuk mendapatkan guru yang seperti ini tidak mudah. Apalagi teknologi terus berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Seharusnya guru selalu mengikuti perkembangan teknologi agar tidak ketinggalan teknologi. Diharapkan mereka mengajarkan teknologi yang terkini. Hal ini pun masih terdapat kendala, karena pendidikan memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga yang diajarkan sekarang mungkin pada saat siswa tamat, teknologi tersebut sudah ketinggalan.

Sangat Perlu

Pelatihan atau kursus merupakan suatu hal yang sangat diperlukan guru SMK, agar tidak ketinggalan teknologi. Beberapa cara, baik pelatihan di dalam maupun di luar negeri. Diadakan/diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh sekolah itu sendiri secara mandiri, jika sekolah itu mampu.

Mengirim guru untuk meng-ikuti pelatihan yang dibiayai sendiri oleh sekolah, perlu memperhitungkan biaya yang dikeluarkan. Selain biayanya menjadi cukup tinggi, juga perlu dihitung secara cermat agar pengiriman mengikuti pelatihan tidak mengganggu kegiatan di sekolah.

Mungkin juga dapat dicari tempat-tempat pelatihan yang dapat membantu pelatihan guru.

Jika mengirim guru untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, sekolah harus menunggu program pemerintah. Pelatihan apa yang akan diselenggarakan dan kapan pelaksanaannya, sehingga walaupun kita sudah sangat butuh guru mempunyai kompetensi tertentu, kalau pemerintah belum menyelenggarakan, maka guru tetap menunggu. Di sisi lain pemerintah masih menunggu anggaran yang tepat untuk itu.

Berbeda dengan pelatihan yang direncanakan dan dibiayai sendiri oleh sekolah. Jenis pelatihan apa yang dibutuhkan dan kapan akan dilaksanakan dapat segera diadakan.Dengan cara ini sekolah tidak mengalami kesulitan mendapatkan kompetensi guru yang sangat dibutuhkan.

Disamping kegiatan belajar teori dan praktik di sekolah, siswa juga diwajibkan mengikuti kegiatan Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Sekarang disebut juga dengan istilah Praktik Kerja Industri (Prakerin). Semua siswa SMK wajib mengikuti program ini. Pelaksanaannya dapat dimulai dari kelas 1 sampai kelas 3. Namun biasanya prakerin ini dilaksanakan mulai dari kelas 2 dan 3. Karena kalau mulai dari kelas 1, dianggap belum siap.

Lama kegiatan prakerin ini antara satu sekolah dengan sekolah lain bervariasi (tidak sama). Juga antara bidang keahlian yang satu dengan yang lain pun waktunya tidak sama. Tempat prakerin pun menentukan lama tidaknya prakerin tersebut. Oleh karena itu banyak hal yang menentukan lama tidaknya waktu prakerin. Secara umum lama prakerin berkisar antara tiga bulan sampai enam bulan.

Tempat/lokasi prakerin dapat dibicarakan antara siswa dengan sekolah. Karena tempat prakerin ini dapat dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah. Bagi sekolah yang kegiatan Unit Produksinya sudah berkembang dapat digunakan untuk prakerin.

Unit produksi di SMK merupakan kegiatan usaha yang bertujuan untuk memperoleh nilai tambah/keuntungan dari kegiatan usaha. Baik kegiatan usaha jasa atau kegiatan produksi, sehingga diharapkan ada tambahan pemasukan untuk sekolah, yang dapat mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah.

Bagi sekolah yang unit produksinya belum berkembang, pelaksanaan prakerin dilaksanakan di luar sekolah. Pengertian di luar sekolah yaitu dilaksanakan di dunia usaha atau dunia industri. Riilnya tempat pelaksanaan prakerin di instansi pemerintah atau swasta dan dapat pula dilaksanakan di perusahaan-perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta yang ada di Indonesia.

Bagi sekolah yang sudah maju dan mampu, prakerin tidak hanya dilaksanakan di dalam negeri tetapi dilaksanakan juga di luar negeri, dengan waktu pelaksanaan relatif lebih lama. Rata-rata waktunya lebih lama bila dibanding dengan prakerin yang dilaksanakan di Indonesia (dalam negeri).

Negara tujuan perlu disesuaikan dengan bidang keahlian dari sekolah pengirim peserta prakerin. Untuk kelancaran prakerin sekolah perlu mempersiapkan, baik siswanya ataupun pelengkapan administrasinya.,sehingga siswa tidak mengalami hambatan untuk keberangkatannya ke luar negeri.

Untuk melaksanakan prakerin ini, kalau tempatnya di luar sekolah/di luar luar propinsi atau bahkan di luar negeri, sudah barang tentu juga diperlukan dana yang tidak sedikit, baik yang menjadi beban siswa itu sendiri maupun beban sekolah.

Biaya itu antara lain untuk transportasi dan kalau prakerin ke luar negeri disamping biaya transportasi juga untuk penyelesaian surat-surat/administrasi.

Kalau biaya-biaya itu dikumpulkan atau dihitung dari awal, siswa masuk sampai siswa tamat dari SMK, maka jumlahnya menjadi sangat besar. Bila dibandingkan dengan sekolah umum, bedanya sangat jauh/besar. Hal ini kadang-kadang orang tua/wali siswa ada yang belum menyadari, sehingga kalau pihak sekolah mengajukan anggaran belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat/orang tua siswa.

Memang pemerintah melalui Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan (Dikmenjur) telah menawarkan beberapa program untuk membantu kelancaran pelaksanaan program di SMK. Namun tidak semua SMK dapat mengajukan bantuan tersebut karena ada beberapa faktor persyaratan yang sulit/tidak dapat dipenuhi. Disamping itu dari pemerintah Provinsi atau Kabupaten juga kadang-kadang ada bantuan untuk SMK.

Namun lagi-lagi belum dapat menjangkau ke semua sekolah karena jumlah SMK baik dalam hitungan tingkat provinsi maupun kabupaten jumlahnya cukup banyak, sehingga yang mendapat bantuan pun menjadi sangat terbatas. Maka tinggal pandai-pandainya sekolah bersaing untuk mendapatkan bantuan tersebut.

Dari jumlah SMK yang hitungannya banyak itu untuk wilayah Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang ada , jumlah SMK negerinya sangat sedikit. Sebagian besar adalah sekolah swasta yang kondisinya sangat bervariasi. Dari sekolah kondisinya sangat baik sampai sekolah yang kondisinya kurang baik.

Keberadaan/lokasi SMK inipun sangat beragam. Ada SMK yang lokasinya di kota dan sangat strategis sampai dengan SMK yang lokasinya jauh dari kota atau di desa. Letak/lokasi keberadaan SMK ini sangat mempengaruhi perkembangan sekolah.

Rata-rata SMK yang berada di kota lebih cepat mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi, dibanding sekolah yang jauh dari kota. Hal ini dikarenakan adanya dorongan dari luar sekolah yang selalu terjadi perubahan/perkembangan, sehingga mau tidak mau sekolah terpacu untuk mengikuti perkembangan yang ada di sekitarnya.

Untuk menunjang kelancaran kegiatan belajar - mengajar baik itu sekolah negeri maupun swasta diperlukan dana. Dana dapat digali melalui beberapa sumber. Namun bagi sekolah swasta sumber dana utama adalah dari orang tua siswa. Padahal yang masuk SMK terutama rata-rata dari kalangan ekonomi menengah ke bawah dan sebagian besar berada jauh dari kota. Karenanya kalau orang tua siswa dimintai biaya sekolah yang tinggi merasa keberatan. Seharusnya biaya yang dikeluarkan orang tua siswa SMK jauh lebih besar dibanding biaya untuk sekolah umum.

Bagi sekolah swasta disamping untuk membiayai kegiatan-kegiatan seperti tersebut di atas, juga untuk membayar honorarium guru. Sebagian besar sekolah swasta gurunya juga guru swasta, yang pembayaran honorarium/gajnya tergantung sekolah atau yayasan sebagai penyelenggara.

Antara biaya dan prestasi sekolah merupakan suatu hal saling berhubungan. Sekolah dapat maju dan berkembang apabila ditunjang dengan dana yang cukup. Akan tetapi kalau dana tersebut dibebankan kepada orang tua siswa maka bebannya menjadi berat. Mungkin jumlah siswa di SMK sedikit, karena tidak mampu membayar sekolah.

Dari kenyataan tersebut di atas maka SMK sulit melakukan perkembangan. Yang terjadi saat ini pada sekolah-sekolah terutama yang kesulitan dana, hanya melaksanakan kurikulum apa adanya. Tuntutan perkembangan masih menjadi anggaran atau impian saja. Kecuali kalau ada donatur/intitusi yang dengan suka rela membantu sekolah yang sedang mengalami kesulitan dana tersebut.(18)

- Ir Tawan Rosidi, Pengawas SMK Kabupaten Banjarnegara.