Jumat, 06 Maret 2009

YOGYAKARTA, KOMPAS - Masukan materi dari masyarakat bagi Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan atau RUU BHP terus mengalir di tengah polemik perlu tidaknya RUU tersebut disahkan. Salah satu masukan ialah perlunya audit pendidikan dimasukkan menjadi komponen penting RUU BHP. Oleh Agni Rahadyanti Masukan tersebut disampaikan pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri Nasruddin Anshoriy dalam diskusi Mengkritisi RUU BHP dari Sisi Kebudayaan di kompleks Pendapa Tamansiswa, Sabtu (8/3).

Sebelum kita bicara yang lain, kita bicara audit pendidikan dulu. Anggaran begitu banyak yang sudah dikeluarkan pemerintah ke mana saja larinya, output-nya seperti apa, tutur Nasruddin. Menurut dia, anggaran pendidikan yang sesuai amanah UUD 1945 besarnya harus mencapai 20 persen dari APBN akan sangat rancu jika tidak diimbangi dengan audit pendidikan. Tanpa adanya audit, seperti yang terjadi selama ini, pemerintah sudah sangat konsumtif membelanjakan anggaran pendidikan. Gugatan Ketua Dewan Pendidikan DI Yogyakarta Wuryadi menambahkan, tuntutan audit pendidikan yang belum masuk ke dalam ranah RUU BHP tersebut memang patut dipikirkan.

Selama ini masyarakat banyak menuntut besarnya dana belanja pendidikan sesuai UUD 1945, tetapi gugatan terhadap akuntabilitas audit pendidikan yang memadai belum banyak dilakukan. Jika tidak dilakukan audit, ungkap Wuryadi, bisa saja rumor bahwa anggaran pendidikan lebih banyak digunakan untuk perumusan kebijakan dari satu tempat ke tempat lain sehingga menghabiskan sebagian besar dari total 20 persen anggaran pendidikan dari APBN benar adanya. Nasruddin juga menyoroti perlunya memperkecil anggaran bagi sektor pendidikan formal. Saat ini, bangsa Indonesia yang bisa mengakses pendidikan formal saya kira hanya berapa persen. Masih banyak penduduk yang berada di daerah terpencil atau pulau-pulau terluar tidak bisa mengakses pendidikan formal, tutur Nasruddin. Karena itu, anggaran bagi pendidikan informal yang dapat menjangkau mereka harus diperkuat, apalagi saat ini jumlah rakyat miskin semakin banyak. Mereka menempatkan pendidikan sebagai suatu kemewahan. Akses pendidikan belum bisa diperoleh secara merata oleh masyarakat. Dengan kemiskinan yang ada di sekitar kita, pemerataan pendidikan pun harus lebih dikemukakan sebelum peningkatan kualitas pendidikan, ujar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar