Senin, 25 Mei 2009

Sudah Bacakan Dongeng untuk Anak?

SIAPA yang tidak ingin punya anak cerdas, penuh pengertian, baik hati, dan penuh cinta? Kalau Anda menginginkan anak seperti itu, biasakan mendongengkan cerita kepadanya sejak dini, bahkan sejak anak dalam kandungan. Anak yang masih polos dan suci akan dengan mudah menyerap apa pun informasi yang kita berikan, termasuk pesan yang disampaikan melalui dongeng dan gambar.

Miyako Matsumoto, pembina play group di Sumida District Tokyo menjelaskan, melalui buku dongeng bergambar yang menarik, bayi akan tertarik melihat gambar yang ditunjukkan orangtuanya. Buku bergambar bukan hanya membantu dalam perkembangan bahasa anak, tetapi yang paling penting adalah memberi kesempatan berbagi waktu dan perasaan (perkembangan sosial) dengan orangtua. Bukan hanya itu, mendongeng untuk anak juga memberikan ketenangan hati, menumbuhkan serta mengembangkan perasaan cinta anak kepada buku.
”Untuk anak di bawah 3 tahun, orangtua yang menyesuaikan diri kepada mereka. Buku yang dianggap menarik bisa minta dibacakan berulang kali dan akan dihafal oleh anak-anak,” ujar Matsumoto saat menjadi pembicara dalam seminar sehari ‘Anak, Buku, dan Dunia Dongeng’ yang diadakan oleh Japan Foundation Jakarta, Selasa (3/3).
Kadang-kadang, kata Matsumoto, walaupun belum bisa membaca, anak kelihatan asyik ‘membaca’ buku sendiri, bahkan mengubah kalimat dalam buku, karena sudah memiliki kemampuan kreatif. Orangtua jangan melarang atau mengoreksi imajinasi anak tersebut.
Ia juga menambahkan, bagi anak yang sudah bisa membaca sekalipun, tetap ada perbedaan kenikmatan antara dibacakan dan membaca dongeng sendiri. Jadi sebaiknya orangtua tetap punya waktu untuk mendongengi anak, sekalipun si anak sudah beranjak besar.
Menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, membacakan dongeng untuk anak usia balita atau untuk anak usia SD, SMP, bahkan SMA sekalipun, tetaplah sama. Perbedaannya hanya pada materi ceritanya.
”Tetap dikaitkan dengan hal yang menyenangkan, seperti dengan warna-warni atau games. Misalnya dongeng dengan sejarah penangkapan Pangeran Diponegoro. Intinya mengaktifkan otak kanan sehingga akan lebih mudah ingat melalui gambar, syair, atau warna-warni,” kata pria yang akrab dipanggil Kak Seto tersebut.
Dikatakan, semakin bertambah usia anak, tulisan dalam buku akan semakin dominan menarik perhatiannya. Sementara semakin dini usia anak, gambarlah yang lebih dominan. ”Buku untuk bayi bisa terbuat dari kain atau bahan yang tidak mudah sobek. Tapi kalaupun pada akhirnya buku tersebut sobek, ya tidak perlu dimarahi, karena itu merupakan tahap pengenalan bayi terhadap buku,” kata Kak Seto lagi.
Buku bergambar
Mengapa perlu memberikan buku bergambar alias buku cerita yang dominan gambarnya, kepada anak sejak dini? Yoshimi Hori, pendiri Jakarta Japan Network (J2net), mengatakan, manusia memiliki hal-hal yang harus dipelajari pada setiap usia pertumbuhannya, di mana hanya pada saat itulah hal tersebut bisa didapat.
Dunia imajinasi yang didapat dari cerita atau dongeng melalui buku bergambar dapat tumbuh dari usia balita sampai usia 8 tahun. Oleh karena itu penting sekali bagi anak balita untuk memiliki ruang (dalam hati) imajinasi. Pengalaman tersebut akan terus tersimpan di dalam hati seiring dengan pertumbuhannya, tetapi akan sulit didapat setelah menjadi dewasa. Kelak dalam pertumbuhannya, anak akan dapat membedakan dunia nyata dan dunia imajinasi.
Hori juga menyatakan, penting bagi orangtua untuk memisahkan waktu membaca buku dari kegiatan belajar. Pilihlah waktu yang tepat agar Anda bersama anak Anda bisa menikmati ceritanya dengan baik. ”Harus memberikan waktu (khusus) untuk dongeng dan belajar. Nikmati dulu untuk menikmati cerita buku tersebut. Karena anak akan kehilangan selera jika tiba-tiba di tengah cerita Anda menyelipkan pertanyaan tentang angka,” katanya.
Wanita Jepang yang sudah tinggal di Indonesia sejak tahun 1997 mengikuti suaminya yang berdinas di Indonesia ini mengatakan, buku bergambar adalah alat untuk menyampaikan sesuatu yang penting dan memiliki nilai. ”Dulu banyak keluarga yang masih tinggal dengan kakek dan nenek. Dari merekalah anak mendengar cerita secara lisan mengenai pengetahuan, budaya, adat, atau kondisi alam. Namun sekarang ini sudah jarang, sehingga buku dapat menggantikan peran tersebut,” papar Hiro.
Kalimat-kalimat pada buku bergambar memang dibuat khusus untuk memudahkan para orangtua atau orang yang sering membacakan buku untuk anak. Sambil melihat gambar yang ada di buku, anak bisa mendengarkan cerita yang dibacakan oleh orang yang disayanginya dengan rasa gembira. Oleh karena cerita itu dibacakan oleh orang yang mereka sayangi dan percaya, mereka dapat mengikutinya dengan tenang, walaupun isi dari cerita itu menyeramkan atau mengejutkan, atau ada adegan yang seru dan membuat rasa penasaran. (lis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar