Minggu, 12 April 2009

BARANGKALI pembagian secara dikotomis ulama dan bukan ulama hanya terjadi dalam wacana belaka. Tidak ada pembagian yang pasti seorang tokoh itu bisa digolongkan ke dalam kategori bukan ulama manakala pengertian itu diterapkan dalam kepemimpinan organisasi dakwah maupun keagamaan seperti Persarikatan Muhammadiyah.

Untuk menentukan seseorang digolongkan menjadi ulama maupun bukan ulama bisa digunakan berbagai ukuran. Ukuran pertama barangkali yang paling formal, yaitu seorang lulusan pendidikan keagamaan dari tingkat atau jenjang mana pun. Bisa ponpes, madrasah diniyah, MI, bisa pula PT keagamaan seperti lAIN.

Kemudian mereka berkecimpung dalam penyiaran agama. Tentu saja ukuran tersebut tidak terlalu akurat sebab keulamaan tidak sekadar ditunjukkan oleh lembaga pendidikan yang telah dimasuki tokoh tersebut.

Sementara itu seorang lulusan pendidikan tersebut bisa pula digolongkan menjadi cendekiawan agama. Oleb karena keulamaan atau ulama bukan merupakan gelaran formal, maka keullamaan itu lebih terlihat pada penampilan seseorang dan bukan dari lembaga pendidikan tempat seseorang menimba ilmu agama.

Secara dikotomis seorang tokoh yang berasal dari lembaga pendidikan bukan keagamaan tidaklah salah kalau dimasukkan ke dalam bukan ulama. Tidak salah pula kalau orang tersebut digolongkan ke dalam intelektual non-agama. Meskipun demikian kedua pembagian tersebut sekali lagi tidaklah terlalu akurat.

Sebagai sebuah wacana tidaklah berlebihan kalau orang melakukan pembicaraan apakah seseorang yang memimpin sebuah organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah itu tergolong ulama atau bukan ulama. Untuk sementara marilah kita sepakati bahwa keulamaan tersebut disebabkan apakah seseorang itu lulusan lembaga pendidikan keagamaan seperti IAIN, sementara mereka yang bukan lulusan lembaga pendidikan agama itu dan memiliki kesarjaan umum bisa dimasukkan sebagai bukan ulama.

Sementara aitu akhir-akhir ini kelompok kedua tersebut bisa digolongkan sebagai cendekiawan muslim sesuai dengan penampilan hidup keagamaannya maupun pikiran-pikirannya. Orang-orang semacam Amien Rais maupun Syafi'i Ma'arif sering dikelompokkan ke dalam cendekiawan muslim dan bukan digolongkan ke dalam kategori ulama, meskipun Syafi'i Ma'arif sering dipanggil ''Buya'' yaitu sebutan kiai atau ulama dari daerah Minangkabau.

Yang menarik adalah mengapa masyarakat biasa menempatkan orang seperti Nurcholish Majid yang lulusan IAIN plus ke dalam cendekiawan muslim dan bukan dalam kelompok ulama.

Sejak tahun 1990 terjadi gejala menarik dalam kepemimpinan Muhammadiyah terutama untuk kepemimpinan pusat. Terpilihnya Amien Rais dalam muktamar di Aceh pada tahun 1995 sebagai ketua umum PP Muhammadiyah menandai sebuah trend baru dalam kepemimpinan Muhammadiyah.

Trend itu kemudian seperti berlangsung terus ketika pada muktamar lima tahun berikutnya di Jakarta tahun 2000 Syafi'i Ma'arif menjadi ketua umum PP Muhammadiyah. Menariknya gejala tersebut adalah karena sejak berdiri sampai kepemimpinan sebelum Amien Rais, PP Muhammadiyah selalu dipimpin oleh ulama dalam artian bukan lulusan pendidikan tinggi umum; sementara Amien Rais maupun Syafi'i Ma'arif adalah dua tokoh sarjana atau cendekiawan dengan latar belakang pendidikan umum.

Trend tersebut kemudian seolah-olah berhenti dengan terpilihnya Dien Syamsudin dalam Muktamar Malang 2005 sebagai ketua umum PP Muhammadiyah.

Ketua umum PP Muhammadiyah tersebut merupakan tokoh dengan latar belakang pendidikan keagamaan IAIN meskipun tidak berarti bahwa Dien Syamsuddin hanya menguasai pengetahuan keagamaan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar