Minggu, 12 April 2009

SUHU udara di Kabupaten Temanggung kini berbeda dari sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Kabupaten penghasil tembakau yang memiliki dua gunung, Sindoro dan Sumbing, itu dulu dikenal sebagai kota yang bersih dan berhawa sejuk.

Dulu, bila datang ke desa-desa di lereng kedua gunung tersebut, kita akan mendapati keranuman tumbuh-tumbuhan hijau di ladang pertanian warga. Juga akan melihat tanaman-tanaman keras yang berfungsi sebagai hutan lindung, penyerap air, dan penjaga keseimbangan alam. Pohon-pohon itu tumbuh kuat, menahan empasan badai dan hujan.

Saat musim panen tembakau tiba, banyak rejeng (tempat mengurai tembakau rajangan) dijemur memenuhi halaman depan rumah warga. Aroma lembut tembakau yang dijemur dan hawa sejuk di daerah pegunungan itu, sungguh menimbulkan suasana alam yang nyaman tersendiri.

"Namun sekarang saat lari pagi, baru beberapa puluh meter saja, saya sudah krenggosan. Udara panas dan keringat cepat keluar," kata Zainal Faizin, salah seorang peserta Sarasehan Hari Bumi, yang diselenggarakan Komunitas Peduli Alam Sindoro (Kompas) Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, di balai desa setempat, baru-baru ini.

Akibat Penebangan

Udara yang tidak sejuk dan alam yang tak asri lagi itu akibat penebangan hutan mulai tahun 1990-an. Juga karena penambangan pasir liar di daerah hijau yang dulu merupakan lahan pertanian dan perladangan.

"Peningkatan suhu panas itu, karena hutan lindung makin menipis sehingga sinar matahari langsung menerpa kita. Tidak banyak lagi tumbuh-tumbuhan yang dapat menyerap sinar tersebut," kata Guru Besar IAIN Walisongo Semarang, Prof Mujiono, yang menjadi salah satu pembicara dalam sarasehan tersebut.

Dia mencontohkan penyerapan oleh tumbuh-tumbuhan. Apabila siang yang panas kita duduk di dekat pohon yang besar, akan merasakan hawa sejuk dari semilir angin. Itu karena sinar matahari terserap oleh tumbuh-tumbuhan.

Karena itu, dia meminta ada pencegahan dan perbaikan kerusakan lingkungan mulai sekarang. "Kurikulum pendidikan semestinya juga memasukkan lagi mata kuliah/pelajaran tentang kependudukan dan lingkungan hidup, yang beberapa tahun lalu dihapus," katanya.

Hal itu penting, menurutnya, karena generasi muda itulah yang akan menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup pada masa mendatang.

Kampanye kelestarian lingkungan juga perlu lewat pendidikan informal. Misalnya, diselipkan melalui pesan-pesan khotbah keagamaan. Sebab, bagaimanapun setiap agama mengajarkan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan tidak merusaknya.

"Amal dan ibadah itu tidak selalu berbentuk uang atau kegiatan ritual semata, tetapi juga dengan menanam dan menyumbang pohon serta menjaga kelestarian lingkungan."(Henry Sofyan-66)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar