Minggu, 12 April 2009

Oleh: Mukh Doyin

RENCANA pemberlakuan pengajaran bahasa Jawa di SMA dan SMK di Jawa Tengah sudah sepantasnya mendapatkan sambutan positif. Lagi pula bukan lagi waktunya melihat penting atau tidak pemberlakuan tersebut, melainkan harus sudah sampai kepada bagaimana pengimplementasiannya.

Menurut saya, ada tiga hal yang perlu ditambahkan untuk melengkapi tulisan Sucipto Hadi Purnomo, "Pelajaran Bahasa Jawa di SMA" di harian ini (10/1). Tiga hal yang perlu segera disiapkan untuk menerapkan pembelajaran bahasa Jawa di SMA/SMK itu meliputi penyediaan guru, penyediaan buku teks atau buku ajar, dan sosialisasi.

Di Yogyakarta, mengatasi tenaga guru ditempuh dengan jalan menugasi guru yang sudah ada di tiap-tiap SMA/SMK yang sebelumnya dididik secara kilat dan khusus. Apa pun model pendidikan-khususnya, saya rasa itu merupakan langkah yang juga dapat diterapkan di Jawa Tengah.

Di sekolah-sekolah tentu masih ada guru yang jam mengajarnya lebih sedikit -atau bahkan kurang dari ketentuan- dibandingkan dengan guru lain. Selain itu, di sekolah-sekolah mungkin juga ada guru yang mempunyai pengetahuan bahasa Jawa. Guru-guru semacam itu berpotensi untuk diberi tugas dalam kondisi darurat sampai guru bahasa Jawa yang sebenarnya tersedia.

Meskipun demikian, agar pelajaran bahasa Jawa dapat berhasil, tidak menyimpang dari hakikat pembelajaran yang sebenarnya, langkah tersebut tidak dapat diberlakukan secara sama-rata untuk tiap-tiap sekolah. Istilah yang digunakan Sucipto, jangan sampai kucing rembes diraupi. Pendidikan khusus, apakah berbentuk pelatihan, workshop, atau apa pun, perlu dilakukan secara sungguh-sungguh. Dengan demikian, modal minimal yang harus dimiliki seorang guru bahasa Jawa dalam kondisi darurat tersedia. Dalam hal ini, saya kira Dinas Pendidikan perlu memberdayakan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang memiliki program studi pendidikan bahasa Jawa, LSM, atau guru-guru bahasa Jawa senior yang sudah memiliki pengalaman dalam mengajarkan bahasa itu.

Khusus untuk sekolah negeri, dapat juga dilakukan tugas silang, yaitu guru-guru yang di sekolah tertentu masih memiliki jam kosong dan berpotensi untuk ditugasi, dapat digunakan. Dengan demikian, ada dua keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu pada satu sisi kebutuhan guru bahasa Jawa terpenuhi, pada sisi lain pemberdayaan guru dapat dilakukan secara optimal.

Langkah lain, seperti yang diusulkan Sucipto, yaitu memberdayakan guru-guru bahasa Jawa eks SPG dulu, juga dapat ditempuh. Namun, jika dilihat dari jumlahnya, tentu sangat sedikit dan sangat jauh dibandingkan dengan kebutuhan.

Di Jawa Tengah, jika diumpamakan tiap SPG (negeri) memiliki dua atau tiga guru bahasa Jawa, jumlahnya tentu hanya beberapa puluh, tidak mencapai angka seratus. Belum lagi dikurangi yang pensiun dan yang berpindah tugas di Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di LPTK. Jumlahnya tentu akan semakin kecil. Sementara jumlah guru bahasa Jawa yang dibutuhkan cukup banyak. Karena itu, kiranya dapat ditempuh cara lain, yaitu dengan melakukan upaya penyisiran guru bahasa Jawa di SMP.

Untuk SMP-SMP tertentu barangkali masih ada guru bahasa Jawa yang kekurangan jam mengajar. Pada guru-guru demikian dapat diberi tambahan tugas untuk mengajar di SMA/SMK terdekat.

Pemberdayaan guru tidak tetap juga dapat dilakukan. Saat ini masih tersedia cukup banyak sarjana pendikan bahasa Jawa atau lulusan Program D3 yang masih menjadi guru tidak tetap di SMP-SMP.

Mereka hanya mengajar beberapa jam, sesuai dengan jam yang tersedia di sekolah-sekolah. Tenaga semacam ini dapat difungsi-berdayakan secara maksimal oleh SMA/SMK. Deretan tersebut dapat ditambahkan lagi dengan lulusan-lulusan baru dari LPTK yang ada.

Buku Ajar

Faktor lain yang segera perlu diperhatikan dalam rangka pemberlakuan pembelajaran bahasa Jawa di SMA/SMK adalah penyediaan buku teks atau ajar. Karena pemberlakuan ini masih dalam taraf rencana, tentu saat ini belumlah tersedia buku ajarnya.

Dengan akan diberlakukan kurikulum tersebut, tentu penerbit-penerbit sudah berancang-ancang untuk menyediakan buku tersebut.

Dari berbagai informasi dalam seminar-seminar atau tulisan-tulisan, sampai saat ini peranan buku ajar menjadi sesuatu yang amat penting bagi terlaksananya proses belajar-mengajar di kelas. Bahkan masih banyak guru yang bergantung penuh pada buku ajar, sehingga satu-satunya sumber dalam pembelajaran adalah buku ajar tersebut.

Pada kondisi seperti ini, peran buku ajar menjadi penting dan sangat menentukan benar-tidaknya pembelajaran yang dilaksanakan. Jika sesuatu yang ada dalam buku pelajaran tersebut salah, misalnya, pengetahuan siswa pun akan menjadi salah.

Jika buku ajar bahasa Jawa yang akan muncul nanti terjadi kesalahan atau kekurangsesuaian dengan hakikat pembelajaran bahasa Jawa dan kurikulum, harapan pembelajaran bahasa Jawa yang baik pun akan akan jauh dari kita.

Karena itu sedini mungkin -senyampang draf kurikulum belum disetujui gubernur- pihak-pihak yang memberikan kebijakan dalam pembelajaran bahasa Jawa di SMA/SMK ini perlu mempersiapkan diri. Jika kebijakan yang diambil hanya akan menunggu buku-buku yang akan diterbitkan oleh penerbit profesional, antisipasi yang dilakukan ada pada proses pemilihan buku tersebut. Jika kebijakan pemilihan buku ajar diberikan kepada guru mata pelajaran, perlulah memberikan bekal yang memadai pada para guru akan kriteria buku ajar yang baik dan benar. Namun, jika kebijakan yang akan diambil adalah membuat buku ajar sendiri, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang dalam menyediakan buku-buku di SD dan SMP, perlulah dibuat tim yang benar-benar menguasai mata pelajaran bahasa Jawa, Kurikulum 2004, dan penulisan buku ajar.

Buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit prosfesional yang seyogianya dipakai adalah buku-buku yang sudah lolos dari penilaian yang dilakukan oleh Pusat Perbukuan. Jika buku-buku yang dipakai adalah buku-buku yang tidak lolos dalam penilaian tersebut, bisa jadi pembelajaran yang dilaksanakan akan menyimpang dari hakikat pembelajaran yang sebenarnya. Demikian juga jika buku yang dimaksud akan disediakan tersendiri, dibuat sendiri oleh pemerintah daerah, kiranya perlu juga dinilaikan di Pusat Perbukuan sehingga nilai kelayakannya dapat dipertanggungjawabkan.

Membangun Dukungan

Dibandingkan dengan program studi lain, minat lulusan SMA/SMK pada program studi pendidikan bahasa Jawa relatif kecil. Hal ini dapat dilihat pada LPTK. Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Negeri Semarang, misalnya, setiap tahun jumlah mahasiswa yang menempuh studi pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa tidak lebih dari 40 orang --kuota maksimal untuk satu kelas.

Alasan lulusan SMA/SMK tidak mau masuk ke program studi tersebut berkaitan dengan jumlah lowongan kerja, yaitu di SMP yang terbatas. Karena itu, diperkirakan setelah lulus nanti akan sulit mencari tempat untuk mengajar, apalagi untuk diangkat; mengingat dalam kenyataannya tidak semua SMP memberlakukan mata pelajaran bahasa Jawa.

Melihat gambaran kecil ini, kiranya sosialisasi menjadi langkah yang amat peting untuk segera dilakukan. Logikanya, jika banyak masyarakat yang enggan kuliah di program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa karena takut tidak memperoleh tempat, dengan akan diberlakukan pembelajaran di SMA/SMK menjadi banyak tempat yang membutuhkan guru bahasa Jawa.

Karena itu, minat masyarakat untuk menjadi guru bahasa Jawa pun akan semakin meningkat, yang kemudian berimplikasi pada kemungkinan dapat memilih calon mahasiswa yang terbaik di LPTK.

Sosialisasi yang terpenting untuk segera dilakukan justru bukan bagi SMA/SMK yang akan menerapkan, melainkan pada masyarakat, khususnya siswa di SMA/SMK itu sendiri. Dari sosialisasi tersebut diharapkan masyarakat akan mengetahui pentingnya pembelajaran bahasa Jawa beserta tujuannya, yang selanjutnya dapat bersama-sama mendukung dan membantu terlaksananya pembelajaran bahasa Jawa di SMA/SMK tersebut. Karena hanya dengan niat baik dan kesungguhanlah rencana tersebut dapat terlaksana dengan baik. (18)

--Drs Mukh Doyin MSi, Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar