Minggu, 12 April 2009

Perlu Survei Kepuasan Pelanggan

  • Relasi PT dan Masyarakat

“Sebagian besar manajemen Perguruan Tinggi di era globalisasi pendidikan kini bak onani. Mereka terus memproduksi produk layanan pendidikan tinggi yang ujung-ujungnya duit, tetapi tidak pernah melakukan koreksi, apalagi refleksi diri apakah produk layanan pendidikan tinggi yang ditawarkan dalam iklan-iklan tersebut diterima atau justru sebaliknya oleh masyarakat, konsumen pendidikan tinggi” (Sarah, How To Correct University’s Mistakes, 2002: 234, diterjemahkan oleh Anita Lie, 2003).

Apa yang disampaikan Sarah Aaron di atas adalah salah satu wujud kealpaan (mistake) manajemen PT di banyak negara yang menganut liberalisasi pendidikan. Hasilnya? masyarakat, calon mahasiswa dan konsumen pendidikan hanya dijadikan ’’pembeli’’ pasif-submisif tanpa diperlakukannya sebagai “partner” dialogis untuk mencapai “kepusan bersama”.

Alih-alih manajemen PT semakin sadar dengan posisi strategisnya masyarakat selaku konsumen pendidikan tinggi, yang terjadi justru sebaliknya. Manajemen PT terus membombardir produk layanan dengan berbagai iklan yang menggiurkan, tetapi di saat yang sama mereka lupa apakah produk layanan tersebut benar-benar produk yang dibutuhkan dan diharapkan oleh konsumen pendidikan itu sendiri.

Praktik demikian juga ternyata kini marak dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pasca pemberlakukan UU BHP, pendidikan tinggi seolah melulu urusan materialisme, kapitalisme dan liberalisme tanpa banyak menyentuh berupaya meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaan dan iptek apalagi keberpihakan kepada kepentingan publik. Padahal amanat ini jelas menjadi salah satu falsafah pendidikan kita, seperti tertuang dalam UUD 19945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kepuasan Pelanggan

Di era liberalisasi pendidikan tinggi dewasa ini, memang menjadi keniscayaan bahwa manajemen PT harus kreatif dan inovatif sehingga mampu bersaing dan mendapat keuntungan setinggi-tinggi demi perbaikan dan peningkatan produk PT tersebut.

Produk layanan inovatif dimaksud adalah survey layanan kepuasan pelanggan. Produk layanan ini kini mulai banyak dikembangkan PT di negara-negara maju,†termasuk Jepang. Hampir semua PT di negeri Sakura tersebut telah menerapkan sistem manajemen PT berbasis masyarakat (community-based development). Hal ini menjadikan masyarakat selaku konsumen pendidikan tinggi. Bukan saja menjadi partner pendanaan PT, tetapi juga menjadi media “koreksi” atas berbagai produk layanan PT tersebut.

Survey kepuasan pelanggan yang dilakukan secara rutin tiap enam bulanan tersebut, memiliki visi dan misi yang amat demokratis, baik dilihat dari independensinya masyarakat/ mahasiswa selaku pelanggan untuk menyampaikan segala unek-unek, atau kebebasan berpendapat demi perbaikan pengelolaan pendidikan tinggi itu sendiri.

Metode survey menggunakan dua cara, yakni manual dengan menyebar ribuan kuesioner ke berbagai komponen masyarakat atau elektronik dengan memanfaatkan media internet yang bisa diakses dari berbagai penjuru.

Academic Office dan student support center menjadi agen yang akan mengolah data base kepuasan pelanggan tersebut dan kemudian mendiskusikannya, melakukan check and recheck, cross-check ke berbagai pihak berkompeten untuk selanjutnya melakukan launching berlabel “survey kepuasan pelanggan” (CSS-Customer Satisfaction Survey).

Melalui survey semacam itu, manajemen PT menjadikannya sebagai salah satu strategi utama untuk terus meningkatkan mutu layanan pendidikan tinggi. Dari hasil CSS itu pula manajemen PT mendasarkan langkah-langkah manajerial, administratif, dan pengembangannya sehingga apa yang dilakukan manajemen PT adalah apa yang menjadi kebutuhan dan harapan konsumen pendidikan itu sendiri. Komunikasi solutif demikian, menjadikan manajemen PT semakin kokoh dan kuat dari segi dukungan pendanaan publik ataupun berbagai pihak stakeholders lainnya.

Dari model CSS yang dikelola secara profesional ini, ada dua keuntungan sekaligus. Pertama, secara internal, manajemen PT semakin yakni bahwa apa yang selama kurun waktu tertentu dilakukan baik dalam produk layanan terkait dengan pengembangan SDM, model pembelajaran, kurikulum, jaminan mutu lulusan, manajemen Teknologi informasi hingga urusan pengembangan sumber daya PT lainnya termasuk pemasaran dan ekspansi iptek, sinkron dengan apa yang menjadi masalah publik, bahkan bangsa dan negara.

Tak ada istilah ’’onani’’ seperti disebutkan Sarah di atas karena dasar perbaikan PT benar-benar bukan sekadar ’’perkiraan’’ atau ’’asal tebak’’ manajemen PT, tetapi benar-benar dari sebuat survey-riset yang menyeluruh yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, mencegah vandalisme publik, serta pembangkangan-pembangkanan terkait regulasi dan kebijakan pendidikan tinggi. Melalui CSS yang kredibel tersebut, secara eksternal, justru sangat menguntungkan konsumen itu sendiri sehingga mengurangi bahkan mencegah produk layanan pendidikan tinggi yang telah dikeluarkan justru menjadi polemik dan apalagi biang konntroversi.

Tak heran apabila di negara-negara maju, khususnya Jepang, produk regulasi/kebijakan kampus ditentang dan ditolak justru oleh konsumen terdekat kampus sendiri (mahasiswa). (Tasroh - 80)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar