Minggu, 12 April 2009

Pendidikan Tinggi di Era Neoliberalisme

Oleh: Eddy Nurcahyono

HAMPIR semua bangsa di dunia menempatkan pendidikan pada posisi yang tinggi. Nyaris tak ada suatu bangsa yang melecehkan pendidikan bagi bangsanya sendiri. Mereka sangat menyadari kemajuan bangsa ditentukan oleh kepandaian generasi baru dari bangsa itu sendiri. Karena itu perhatian terhadap pendidikan tak pernah kurang. Demikian pula dengan Indonesia.

Berbagai perubahan terus terjadi dengan argumentasi perbaikan sistem. Sangat banyak perubahan yang selama ini dialami sistem pendidikan di Indonesia, mulai zaman Belanda, sejak merdeka hingga sekarang. Dewasa pendidikan di Indonesia berada pada era yang oleh sebagian orang disebut sebagai neoliberalis.

Menurut Mansour Fakih, neoliberalis adalah bangkitnya kembali bentuk baru aliran ekonomi liberal lama. Mengapa yang lama bangkit kembali, karena berkaitan dengan pasang surut dari sistem itu sendiri sejak pertama diimplementasikan .

Liberalis sebagaimana diketahui digagas oleh ekonom Inggris Adam Smith tahun 1776. Kemudian menjadi faham yang mendunia dan sempat bertarung dengan sistem komunis. Pada liberalisme terdapat pengagungan prinsip laissez faire. Pada sistem ini mekanisme pasar yang bekerja. Deregulasi dan penghilangan semua rintangan birokratis di banyak sektor dilakukan demi menjamin terwujudnya free trade atau perdagangan dan persaingan bebas. Sistem ini sejak awal dianut oleh banyak negara Eropa dan Amerika.

Namun pada tahun 1930 terjadi great depression (depresi besar) yang membuat jatuh pendukung sistem ini. Atas saran John Maynard Keynes, seorang ekonom Inggris kemudian dijalankan full employment yang nantinya berperan strategis bagi perkembangan kapitalis dunia. Pemerintah diberi peran untuk terlibat dalam sistem yang diperbaharui itu. Konsentrasinya pada penciptaan lapangan kerja yang luas. Penciptaan lapangan kerja dibutuhkan agar orang memiliki penghasilan dan pada akhirnya mampu melakukan pembelian produk pabrik kapitalis.

Kondisi itu berjalan namun pada akhir abad 21 kapitalis mengalami kesulitan lagi. Tingkat profit menurun dan terjadi penurunan akumulasi kapital. Juga terjadi krisis ekonomi kembali terutama di banyak negara berkembang. Itu kemudian mendorong untuk menengok kembali ke abad 19 ke sistem kapitalis murni. Didukung oleh runtuhnya Uni Soviet yang mengembangkan sistem komunis yang lawan utama liberal, maka semakin terbuka untuk kembali mengembangkan sistem kapitalis murni seperti abad 19.

Paham liberalis ini kemudian diskala globalkan. Munculnya kembali paham liberalisme sesuai dengan formatnya yang lama dan berskala global ini yang disebut neoliberalisme.

Antisubsidi

Sejak krisis ekonomi dan menjalin hubungan dengan IMF, Indonesia melakukan pemotongan subsidi di berbagai bidang. Yang menonjol adalah pemotongan subsidi pada BBM, listrik, dan pendidikan terutama pendidikan tinggi. Selain itu juga dilakukan privatisasi beberapa perusahaan yang sebelumnya dimiliki negara.

Subsidi dalam segala hal memang ditentang neoliberal karena tidak sehat untuk pasar bebas. Syarat yang ditentukan oleh IMF membuat Indonesia masuk dalam lingkaran neoliberal. IMF adalah kepanjangan dari kepentingan kaum kapitalis dunia yang berkehendak kembali ke sistem ekonomi liberal murni sebagaimana di abad yang lalu.

Neoliberalis yang dirasakan dunia pendidikan sekarang ini adalah terjadinya pengurangan subsidi pendidikan. Perguruan tinggi negeri harus menjadi badan yang mandiri. Subsidi yang dulu dilakukan terhadap SPP mahasiswa semakin berkurang. Subsidi dan campur tangan pemerintah di hampir semua sektor memang tidak disukai neoliberal. Kemungkinan besar di masa mendatang akan terjadi privatisasi sekolah dan universitas. Itu sesuai dengan semangat neoliberal persaingan bebas.

Karena sumber pendapatan perguruan tinggi yang terbesar adalah dari mahasiswa, maka upaya mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya terus dilakukan oleh perguruan tinggi. Berbagai model dalam menerima mahasiswa baru dilakukan dengan maksud meraup jumlah mahasiswa sebanyak-banyaknya yang artinya mendapat penghasilan yang banyak pula.

Beberapa PTN favorit untuk kepentingan penggalian sumber dananya dengan membukaj alur non -SPMB dengan menetapkan sumbangan puluhan juta rupiah. Sasaran bidiknya keluarga kaya. Dari situ diharapkan dapat diraup dana banyak untuk memenuhi keperluan operasional yang sekarang harus dibiayai sendiri.

Ada juga perguruan tinggi yang menerima alumni sekolah lanjutan atas yang tamat namun belum memiliki STK (Surat Tanda Kelulusan) dalam status mahasiswa percobaan. Itu dilakukan agar bisa merekrut mahasiswa baru sebanyak-banyaknya yang artinya pula sumber pendapatannya banyak.

Sebenarnya menerima mahasiswa tamat namun belum memiliki STK akan memunculkan akibat cukup rumit di masa mendatang. Misalnya mengenai kesanggupan mahasiswa tersebut untuk mendapatkan STK. Ketika ia duduk di bangku perguruan tinggi ia harus menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus yang jelas beda dengan suasana waktu di sekolah lanjutan atas. Kemudian ia akan disibukkan dengan aktivitas perkuliahan di perguruan tinggi. Belum lagi jika ia juga aktif di kegiatan kemahasiswaan.

Semua itu membutuhkan energi, waktu dan juga biaya yang tidak sedikit.

Masalahnya adalah apakah yang bersangkutan masih sempat menyiapkan dirinya dengan baik. Untuk mendapatkan STK ia harus ujian lagi yang berarti ia harus belajar menyiapkan diri. Kemampuannya membagi waktu dan konsentrasi diragukan.

Secara psikologis juga bisa membuat yang bersangkutan minder karena hanya tamat namun belum punya STK. Kemungkinan kawannya memang tidak tau namun yang bersangkutan tentu berperasaan rendah diri. Kondisinya yang berada pada lingkungan baru yang beda dengan saat ia menjadi siswa dan kemukingan tingkat kecerdasan kawan-kawannya yang lebih tinggi bisa mempengaruhi mentalnya. Jika itu terjadi maka yang bersangkutan sebagai mahasiswa akan sulit mengembangkan dirinya.

Masalah lain yang dihadapi adalah jika mahasiswa yang bersangkutan kemudian gagal memperoleh STK. Menurut SK Mendiknas No 17/U/2003 hanya siswa yang memiliki STK yang bisa ke perguruan tinggi. Jika dikemudian hari mahasiswa yang bersangkutan gagal memperoleh STK konsekuensinya ia harus keluar. Kerugian akan dialami oleh mahasiswa yang bersangkutan.

Secara psikologis perguruan tinggi mestinya juga berat untuk melepas mahasiswanya yang sudah berkuliah beberapa semester. Apalagi jika ternyata dalam perkuliahan menunjukkan prestasi yang cukup baik. Perguruan tinggi akan menghadapi dilematis karena jika tetap mengizinkan terus berkuliah tidak sesuai dengan kelayakan bahwa yang bisa melanjutkan kuliah adalah mereka yang lulus atau memiliki STK.

Bagi mahasiswa yang bersangkutan juga bisa mengalami tekanan mental yang cukup berat. Ia mengalami kegagalan dua kali. Bisa menamatkan sekolah lanjutannya namun tidak berhasil memiliki STK dan ditambah kegagalannya menyelesaikan kuliahnya.

Barang Mahal

Yang jelas pilihan calon mahasiswa sekarang banyak karena diperebutkan tidak hanya oleh PTS namun juga oleh PTN. Calon mahasiswa dari keluarga kaya dengan prestasi akademik kurang pun bisa menyandang kehormatan menjadi mahasiswa perguruan tinggi favorit karena terdapat sistem khusus nonPMB dengan sejumlah biaya tertentu yang besar sebagai kompensasinya.

Namun yang harus diuji nanti apakah yang bersangkutan mampu sukses menyelesaikan studinya sama seperti mereka yang menempuh jalur biasa dengan seleksi akademik yang ketat. Jika tidak mampu akan berguguran di tengah jalan yang artinya pula mereka hanya menjadi suporter dana bagi perguruan tinggi yang menerimanya.

Kesempatan orang kaya memilih perguruan tinggi memang selalu lebih banyak daripada orang miskin. Dengan adanya model seleksi yang target sebenarnya adalah mendapatkan sumber dana sebesar-besarnya, maka mereka yang berasal dari keluarga kaya meskipun prestasi akademiknya tidak bagus memiliki kesempatan yang besar.

Lalu bagaimana dengan calon mahasiswa dari keluarga miskin. Meskipun masih terbuka masuk ke perguruan tinggi favorit dengan mengandalkan prestasi akademiknya namun kendala biaya rutin akan dihadapinya. Semakin menurunnya subsidi pada pendidikan semakin besar biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh rakyat. Kemungkinan besar di masa mendatang mayoritas rakyat menatap pendidikan tinggi sebagai barang mewah yang mahal.

Itulah efek dari neoliberalis yang merasuk ke bidang pendidikan. Dengan dihapuskannya beberapa subsidi pendidikan yang tidak disukai oleh neoliberal mengharuskan perguruan tinggi menggali sumber-sumber yang dapat membiayai operasionalnya. Karena itu semuanya menjadi mahal.

Neoliberalis memang tidak pernah mengenal manusiawi, tidak pernah perduli terhadap hak rakyat untuk mendapat pendidikan di segala level. Yang dipentingkan oleh neoliberalis adalah sistem bebas agar bisa akses di semua bidang dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. (18)

-Eddy Nurcahyono,SH, staf pengajar Akademi Teknik Adiyasa Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar