Minggu, 12 April 2009

Investasi buat Provinsi Pendidikan

  • Oleh: Sucipto Hadi Purnomo

MEWUJUDKAN Jawa Tengah sebagai provinsi pendidikan. Itulah impian terbaru yang mengemuka dari para stakeholder pendidikan di provinsi ini. Sebuah impian yang segera menerbitkan harapan baru, sekalipun terasa mengagetkan jika mengingat selama ini investasi pada proyek untuk "mengatasi kodrat dan keterbatasan-keterbatasan manusiawi" ini baru sebatas manis di bibir namun terasa pahit di dalam pelaksanaan.

Akankah provinsi pendidikan bernasib sama dengan impian lama yang ditebarkan para penguasa dan telah menjelma jadi utopia itu? Akankah ia bernasib sama dengan janji mewujudkan sekolah gratis ataupun target menjadikan seluruh warga provinsi ini bebas buta aksara? Puluhan sekolah unggulan, kelas imersi, dan kelas akselerasi serta penyematan berbagai label lain yang menampakkan "standar internasional", cukupkah sebagai modal untuk mewujudkan impian itu?

Marilah kita simak modal kuantitatif yang telah dipunyai Jawa Tengah di sektor ini. Pada tataran yang paling elementer, kiranya perlu untuk menilik lebih dahulu prestasi yang teraih dari program pemberantasan buta huruf melalui program keaksaraan. Hingga satu setengah tahun lalu, sebagaimana dilaporkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, penduduk buta huruf di provinsi ini 729.488 orang dengan usia 14-44 tahun.

Terhadap tingginya angka buta huruf pada usia produktif, pemerintah bukannya tinggal diam. Terus saja diupayakan agar mereka melek huruf melalui pendidikan nonformal yang setiap tahun programnya diperluas. Ada program kejar paket A yang setera dengan SD, kejar paket B yang sederajat dengan SMP, dan kejar paket C yang selevel dengan SMA. Tiap-tiap jenjang diikuti ribuan orang.

Tentu saja seiring dengan kian banyak orang yang mengikuti upaya itu, makin sedikitlah penduduk buta huruf, makin meningkat pula akses masyarakat terhadap salah satu katup pengaman dari kemiskinan itu.

Sebagai pembanding, sekalipun pemberantasan buta huruf di Indonesia sudah berlangsung sepanjang usia negeri ini, data Badan Pusat Statistik 2003 menunjukkan, penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas masih 9,07 % atau sekitar 15,5 juta yang tersebar di semua provinsi.

Putus Sekolah

Di tengah-tengah tantangan seperti itu, angka putus sekolah tetap saja tinggi. Pada tahun yang sama, penduduk usia produktif yang putus sekolah dasar 462.425 orang, putus sekolah lanjutan tingkat pertama 136.046 orang, dan yang putus sekolah lanjutan tingkat atas 56.213 orang. Memang, sebagaimana dilaporkan Prof Dr Mayling Oey-Gardiner (2004), angka partisipasi murni siswa sekolah dasar di Jawa Tengah 94,1% -sebuah angka yang tergolong tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Namun masih saja terjadi disparitas kesempatan mendapatkan pendidikan antara anak yang tinggal di desa dan di kota.

Makin tinggi jenjang pendidikan itu, tidak hanya makin menurun angka partisipasinya, tetapi juga kesenjangan antara kota dan desa kian menganga. Di jenjang SD, angka partisipasi siswa yang tinggal di kota 93,3%, sedangkan yang tinggal di desa justru lebih tinggi, 94,1%. Sebaliknya, pada jenjang SMP dan sederajat, angka partisipasi di kota 70,3%, sedangkan di desa 60,8%.

Pada tingkat SMA dan sederajat, dengan rata-rata angka partisipasi murni hanya 38,2%, angka partisipasi siswa yang tinggal di kota 49%, sedangkan siswa yang tinggal di desa hanya 29,3%.

Dibandingkan dengan yang diraih Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), prestasi itu sungguh tertinggal jauh. Angka partisipasi murni siswa SMA di provinsi tetangga itu 60 %. Mungkin akan ada yang mengatakan, tidak proporsional membandingkan pendidikan di Jawa Tengah dengan wilayah yang mendapat predikat kota pelajar itu. Sebab, secara kultural kesadaran akan arti penting pendidikan jauh lebih tinggi.

Namun persoalannya bukankah tidak hanya berkisar pada masalah kultur, tapi aksesibilitas warga terhadap lembaga pendidikan. Di sana, SD hingga SMA tersebar hingga ke pelosok desa. Sebaliknya, di Jateng , sekolah setingkat SMP dan SLTA baru dapat ditemui pada tingkat kecamatan. Malahan tidak semua kecamatan memiliki SLTA.

Mengapa itu terjadi? Salah satu penyebabnya adalah keminiman investasi di bidang pendidikan. Baik pemerintah maupun investor swasta tampak masih enggan menanamkan investasi di bidang ini. Mereka lebih tertarik menanamkan modalnya di bidang industri. Padahal, investasi di bidang pendidikan merupakan investasi jangka panjang untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk masa mendatang. Kalau SDM-nya payah, investasi berapa pun akan menjadi mubazir. Pendidikan, itulah investasi jangka panjang.

Dengan mengutip hasil peneltiian Bank Dunia yang disajikan dalam World Development Report 1980, Prof Dr Dietriech G Bengen DEA mengemukakan, pengembalian ekonomi terhadap investasi pada tingkat pendidikan dasar paling tinggi di antara semua tingkat pendidikan. Selain itu, tingkat pengembalian ekonomi terhadap investasi paling tinggi terjadi di negara miskin.

Pada negara berpendapatan rendah, tingkat pengembalian rata-rata atas investasi pada pendidikan dasar 27% dan pada negara berpenghasilan menengah 22%. Untuk pendidikan menengah, gambaran yang sama adalah 17% dan 14%. Adapun untuk pendidikan tinggi 13% dan 12%.

Belum memadainya angka partisipasi murni, memang bukan hanya pada persoalan kesadaran dan hal-hal yang bersifat sosiokultural. Kemampuan mengakses lembaga pendidikan yang jelas-jelas berkait erat dengan faktor ekonomi, dalam banyak hal lebih sering mengemuka. Sampai-sampai muncul ungkapan bernada skeptis, orang miskin tidak hanya tak boleh sakit, tapi juga dilarang sekolah. Maklumlah berobat dan bersekolah di negeri ini mahalnya minta ampun bagi mereka yang masih melarat secara ekonomi.

Berbagai program memang lebih diluncurkan untuk menanggulangi hal itu lewat pemberian beasiswa dan berbagai subsidi lain, meski kabar tentang penyimpangan anggaran pendidikan oleh tangan-tangan kekuasaan tetap menghiasi berbagai halaman surat kabar. Namun tetap saja laju angka putus sekolah bisa direm secara efektif dan keberdayaan untuk mengakses sekolah meningkat pesat.

Di luar itu, persoalan yang menyangkut sarana dan prasarana pendidikan dan ketidaksejahteraan guru kian waktu makin menumpuk. Pemberlakuan kurikulum, profesionalisme pengelolaan pendidikan, dan manajemen peningkatan mutu pendidikan tetap saja menjadi masalah abadi yang nyaris tak kunjung menampakkan kemajuan berarti.

Di jenjang perguruan tinggi, kondisinya juga tak benar-benar menggembirakan. Memang pengelolaan pendidikan tinggi pada tiga dekade terakhir ini telah mampu memperluas kesempatan memperoleh pendidikan tinggi bagi kelompok umur 19-24 tahun. Namun harus diakui, masih terdapat kelemahan bagi upaya peningkatan mutu proses dan lulusan perguruan tinggi. Di provinsi ini, perguruan tinggi baru bermunculan, sementara di antara sedikit yang sekarat dan gulung tikar, lebih banyak yang mengepakkan sayapnya seraya mengukuhkan diri sebagai universitas/institut/sekolah tinggi/akademi favorit.

Namun alih-alih mengembangkan perguruan tinggi menjadi universitas riset, universitas yang selangkah lagi pantas masuk jajaran badan hukum milik negara (BHMN) justru lebih gandrung untuk membengkakkan jumlah mahasiswa seraya abai terhadap persoalan mutu. Dan, lahirlah berbagai program "tumpangan" yang terselenggara di dalam kampus sendiri sampai di kelas yang "jauh sekali."

Dengan modal yang serba compang-camping macam itu masih kita terburu nafsu untuk segera bermimpi untuk segera menyematkan predikat provinsi pendidikan?

Sebagai sebuah keinginan dan tekad, tentu itu sah-sah saja dan tak ada jeleknya. Namun tekad dan hasrat saja tidak cukup jika tidak ditopang oleh langkah strategis dan konkret. Berbagai tantangan sudah tergelar wewentehan di depan mata; saatnya untuk menjawab dengan aksi nyata. Apa lagi kalau bukan pemerintah, masyarakat - terutama mereka yang memiliki kekuatan ekonomi- dan orang tua untuk tidak segan-segan berinvestasi dalam bentuk apa saja di bidang pendidikan.

Jika beberapa "orang biasa saja" telah menyuguhkan sekolah-sekolah alternatif bagi orang miskin, menjadi kewajiban pemerintah untuk menyapa dan turut mengembangkannya. Akses orang miskin terhadap lembaga pendidikan perlu ditingkatkan, bukan hanya sebagai katup pengaman atas kemelaratan, tetapi juga sebagai investasi agar mereka dapat bergerak secara vertikal. (29)

-Sucipto Hadi Purnomo, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan di Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar