Tak hanya itu, dalam International Mathematical Olympiad (IMO), 10-22 Juli 2008 di Madrid, Spanyol, anak Indonesia berjaya atas nama Andreas Dwi Maryanto Gunawan (perak), Aldrian Obaja Muis (perunggu), dan Fahmi Fuady (perunggu). Dan masih banyak anak cerdas lain yang dipanggil Presiden Yudhoyono untuk memperoleh penghargaan pada peringatan kemerdekaan RI ke 63. Presiden berjanji akan memberikan beasiswa guna menuntut ilmu di universitas manapun di seluruh dunia sampai mencapai gelar doktor.
Sertifikasi Guru
Guru, menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pasal 1 adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sosok guru, merupakan profesi yang mulia, karena dari beliau lah, kita tahu ilmu pengetahuan dan etika. Tanpa didikan mereka, mungkin kita masih dalam era ketertinggalan. Dari mereka pula, maka anak-anak cerdas Indonesia lahir dan berjaya dalam olimpiade pengetahuan dunia.
Sudah selayaknya, dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Karena fakta di lapangan, masih ada guru yang memperoleh penghasilan di bawah upah minimum regional (UMR). Ironis bukan?
Sertifikasi guru, merupakan angin segar bagi pendidik bangsa. Melalui program ini, pemerintah akan memberikan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi guru, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Tahun 2008 merupakan generasi kedua sertifikasi guru. Dalam pedoman penentuan peserta sertifikasi ada ketentuan bahwa ”kuota guru yang berstatus PNS minimal 75 persen dan maksimal 85 persen, kuota bukan PNS minimal 15 persen dan maksimal 25 persen, disesuaikan dengan proporsi jumlah guru pada masing-masing daerah”.
Pertanyaan kita adalah mengapa kuota PNS minimal 75 persen dan maksimal 85 persen? Mengapa kuota guru swasta minimal 15 persen dan maksimal 25 persen?
Dilihat dari data Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas tahun 2007, jumlah guru semua tingkat pendidikan yang berstatus PNS sebanyak 1.528.472 guru dan non-PNS sebanyak 1.254.849 guru dengan total jumlah total se-Indonesia 2.783.321 guru.
Kalau kita melihat data di atas, perbandingan guru PNS dan swasta yang ada, maka kuotanya adalah 55 persen untuk guru PNS, dan 45 persen untuk guru swasta. Lalu dari mana angka 75-85 persen untuk guru PNS dan 15-25 persen untuk guru swasta? Karena dalam buku pelaksanaan sertifikasi, tidak ditemukan penjelasan mengenai persentase kuota tersebut.
Guru Tiri
Kebijakan pemerintah tentang persentase kuota sertifikasi guru PNS dan Non-PNS sungguh disayangkan. Terlihat jelas bahwa pemerintah membeda-bedakan peran dan jasa guru, begitu menganakemaskan guru PNS dan seolah-olah menganggap bahwa guru swasta guru tiri, yang sah-sah saja kalau diperlakukan berbeda.
Padahal dalam petunjuk pelaksanaan sertifikasi, disebutkan bahwa harus dilaksanakan secara obyektif, tidak membeda-bedakan PNS ataupun non-PNS, asalkan memang memiliki kompetensi sesuai dengan standart yang ditetapkan. Mengapa terjadi perbedaan kuota yang begitu besar?
Pemerintah, khususnya pejabat pendidikan sebagai penentu kebijakan tidak tahu, bahwa memberikan kuota lebih besar kepada guru PNS, menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap warga negara yang lebih membutuhkan kesejahteraan. Ini adalah masalah prioritas dan kepekaan sosial dalam mengenali siapa wajah rakyat yang terutama harus dilayani. Padahal guru swasta lah yang lebih membutuhkan kesejahteraan dibanding pegawai negeri.
Hal ini mengindikasikan bahwa bahwa pejabat pemerintah masih lebih suka mengedepankan kekuasaan daripada visi negarawan yang menghayati jabatan yang dipercayakan kepadanya demi melayani seluruh rakyat dan demi kesejahteraan rakyat. Bukankah salah satu prinsip sertifikasi adalah tercapainya peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru?
Indikasi lainnya adalah bahwa terdapat pemikiran sempit dari penentu kebijakan bahwa seolah pemilik negeri ini adalah kalangan mereka, sehingga peran guru swasta masih dipandang sebelah mata. Karena itu, mereka memberi kuota lebih besar kepada pegawai negeri daripada guru-guru swasta. Padahal, justru sebagai pegawai negeri, mereka semestinya melayani kepentingan rakyat secara adil, yaitu melayani kepentingan guru-guru swasta yang juga turut berjasa mencerdaskan bangsa.
Ketidakadilan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan harus dikaji ulang. Guru swasta tidaklah menuntut untuk diistimewakan, mereka hanya menginginkan keadilan dari pemangku kebijakan, dan tidak diperlakukan sebagai anak tiri di negeri sendiri. Bukankah guru swasta juga turut mencerdaskan anak bangsa, mengapa harus diperkukan beda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar