Minggu, 12 April 2009

Paradigma Baru Perguruan Tinggi

Oleh ZA Adiwijaya

ADA pergeseran paradigma pendidikan tinggi di Indonesia. Dahulu, paradigma pendidikan tinggi kita berbasis keilmuan (konten), tetapi sekarang bergeser menjadi berbasis kompetensi. Kenapa?

Indonesia telah memasuki suatu era yang cukup memprihatinkan, khususnya bidang pendidikan. Lulusan perguruan tinggi kita relatif tidak berguna. Ketika telah selesai menempuh kuliah di perguruan tinggi dan meraih gelar sarjana, lulusan kita banyak tidak bisa apa-apa. Pengangguran sangat banyak, sepertinya lulusan pendidikan tinggi tidak bisa berbuat sesuatu yang berarti bagi dirinya maupun lingkungannya. Bahkan banyak sarjana yang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sampai-sampai banyak ditemui di sekitar kita, calon-calon sarjana yang bukannya senang tetapi takut dan stres, akibat bingung mau berbuat apa? Lalu, pendidikan tinggi itu mendidik apa?

Padahal pada tahun-tahun mendatang, antar negara tidak akan ada lagi batas. Lulusan dari mana pun bebas mau bekerja di mana saja. Lulusan perguruan tinggi Malaysia bisa bekerja di Indonesia, atau di negara mana saja. Begitu juga lulusan Indonesia bisa bersaing di negara mana pun. Sudah cukup kompetenkah lulusan kita untuk bersaing dengan sarjana dari luar negeri, baik yang mau bekerja di Indonesia maupun di luar negeri? Sulit bagi kita untuk menjawab "siap".

Dari latar belakang itulah, Dirjen Dikti Depdiknas mensosialisasikan paradigma baru yang harus dilakukan pendidikan tinggi kita, yaitu pendidikan berbasis kompetensi. Apa artinya? Yakni lulusan perguruan tinggi kita harus kompeten, mampu bersaing dengan lulusan dari negara mana pun, lulusan kita dapat diterima oleh pengguna (user) karena memang match dengan dunia kerja. Dengan kata lain, kurikulumnya harus berbasis kompetensi.

Masalahnya adalah, sudahkah perguruan tinggi peka dalam merespons fenomena pendidikan global ini? Rencana strategis apa dan rencana operasional apa yang harus diambil oleh perguruan tinggi. Hanya sedikit perguruan tinggi kita yang mengerti betapa penting lulusan yang kompeten di dunia kerja, termasuk perguruan tinggi negeri sekalipun.

Berbasis Kompetensi

Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam budaya akademik modern. Pertama, ku-rikulum program studi harus berbasis kompetensi dan silabus dari kurikulum tersebut harus terus dikaji apakah sudah sesuai dengan kebutuhan dunia kerja atau belum. Kedua, proses pembelajaran yang terkendali. Ketiga, standar output yang terjamin.

Kurikulum berbasis kompetensi tidak bisa ditelorkan oleh seorang pakar, tetapi harus mela-lui proses workshop bersama, baik dari kalangan akademisi maupun dari kalangan user. Workshop ini harus dapat mengawinkan dunia akademis dengan dunia kerja dan menelorkan kurikulum dan silabus berbasis kompetensi. Kurikulum tersebut harus terus dievaluasi karena fenomena terus berkembang. Tidak ada yang stagnan dalam dunia pendidikan berbasis kompetensi.

Kurikulum itu akan menjadi "menu makanan" mahasiswa sedangkan kandungan gizinya tergantung dari muatan silabus yang diberikan oleh dosen-dosen pengampu. Oleh karena itu kajian-kajian mata kuliah keahlian khususnya, harus terus dilokakaryakan, baik oleh pakar akademik maupun praktisi yang membidangi agar dosen-dosennya paham apa yang harus diberikan pa-da mahasiswa. Program kerja ini sangat penting di perguruan tinggi. Lulusan pendidikan tinggi ti-dak boleh lagi awang-awangen, kelabu dan tidak jelas di mata user.

Dalam kancah perguruan tinggi kita sangat jarang ditemui lokakarya yang mengarah pada kualitas lulusan yang dikehendaki user ,termasuk pemerintah kita, baik Depdiknas maupun Kopertis. Seharusnya di tangan merekalah kewajiban memperbaiki kualitas anak bangsa. Perguruan tinggi juga tidak boleh menerima begitu saja. Kalau pemerintah tidak mampu menerjemahkan kebutuhan pendidikan tinggi kita, maka perguruan tinggi sendiri yang harus memanfaatkan manajemen berbabasis universitas (otonomi). Karena alam akan menyeleksi, perguruan tinggi mana yang pantas menjadi rujukan anak-anak bangsa untuk belajar. Kita kadang malu, budaya akademik diterjemahkan perbaikan kulit, sedangkan isi pendidikan masih dibiarkan kosong.

Perencanaan akademik yang berbasis kompetensi saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi de-ngan pengendalian proses pembelajaran. Dosen-dosen pengampu harus melakukan kontrak pembelajaran dengan ketua program studi dan program studi berhak mengevaluasi dosen tentang kontrak pembelajarannya. Program studi harus menjadi ujung tombak kualitas lulusan. Sayang-nya banyak program studi di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia yang tidak mendapatkan keleluasaan mengelola mahasiswa, baik dari segi partisipasi anggaran maupun kewenangan kualitas lulusan. Partisipasi penyusuan anggaran dan kewenangan kualitas lulusan masih ba-nyak ditangani oleh petinggi di

Tidak ada komentar:

Posting Komentar