Minggu, 12 April 2009

Jawa Tengah

Gejala yang sama nampaknya terjadi pula dalam kepemimpinan PWM periode Muktamar Aceh. Muswil yang diselenggarakan tersebut telah mengantarkan seorang yang bukan ulama, yaitu Abu Su'ud menjadi ketua PWM Jateng untuk periode 1995-2000. Kepemimpinan itu menggantikan kepemimpinan PWM yang selama periode sebelumnya dipimpin oleh kiai atau ulama, yaitu KH Rasyidi, yang digantikan oleh KH Suratman SP. Seterusnya oleh KH Abu Hamid.

Gejala tersebut nampaknya menjadi sebuah kecenderungan, karena dalam Muswil yang berlangsung di Karanganyar telah mengantarkan seorang yang bukan ulama melainkan seorang staf pengajar bahasa Inggris pada UNS Surakarta.

Seperti yang terjadi dalam PP Muhammadiyah di Jawa Tengah kecenderungan bukan ulama memimpin Muhammadiyah berhenti, ketika Muswil yang berlangsung di Purwokerto untuk periode 2005-2010 telah mengangkat seorang tokoh ulama yaitu Ustad Marpuji Ali, dosen FAI pada UMS Surakarta. Yang bersangkutan adalah lulusan IAIN dan tengah menyiapkan tesis untuk gelar magisternya.

Kalau diperhatikan komposisi para anggota pimpinan yang berjumlah 13 orang yang terpilih dalam Muswil Purwokerto terlihat tokoh-tokoh dengan latar belakang pendidikan tinggi agama Islam, seperti Rozihan, Musman Tholib, Ahmadi, Darori Amin, Tafsir, Suparman Syukur dsb.

Sampai sekarang tokoh-tokoh tersebut masih menjadi staf pengajar IAIN Walisongo, Unissula, UIN Sunan Kalijaga maupun Unimus. Hanya ada dua dari mereka yang bukan berpendidikan tinggi agama, yaitu Irianto yang dosen Unimus dan Wasapada yang penguasa mebel dari Jepara.

Kenyataan ini bisa memberi petunjuk bahwa untuk periode mendatang para ulama atau tokoh lulusan pendidikan tinggi agama Islam akan selalu memegang pimpinan dalam PWM Jawa Tengah.

Ketika Abu Su'ud terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah Jawa Tengah telah mengundang komentar dari seorang cendekiawan Muslim yang juga menjadi wakil ketua PWNU pada saat itu, yaitu Ali Mufis yang sekarang menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah. Komentarnya mengesankan dukungan atas kehadiran seorang bukan ulama dalam kepemimpinan organisasi atau gerakan dakwah.

Hal itu ditekankan karena berbeda dengan dalam struktur kepemimpinan NU, di Muhammadiyah tidak dikenal adanya Majlis Syuriah yang merupakan pasangan atau pendampingan kepemimpinan yang dipimpin oleh bukan ulama, seperti yang pada saat itu dipegang oleh H. Ahmad mantan bupati dan merupakan staf akademik Undip.

Selama periode kepemimpinan bukan ulama di dalam Muhammadiyah memang tidak terjadi perubahan atau kejadian yang unik meskipun bukan dipegang oleh ulama. Hal itu barangkali terjadi karena kepemimpinan dalam Muhammadiyah bersifat "kolegial".

Di sana ketua bukan satu-satunya tokoh pengambil keputusan karena kepemimpinan dilaksanakan selalu dalam musyawarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar