Minggu, 12 April 2009

'ENDI ning Semarang ana banyu resik? Endi ning Semarang ana kali sing ora terkontaminasi limbah?''(Di mana ada air bersih di Semarang? Di mana ada sungai di Semarang yang tidak terkontaminasi?)''

Kalimat retoris itu diucapkan Muhammad Saeful Anwar Zuhri Rosyid atau akrab dipanggil Abah Ipul, pengasuh Pondok Pesantren Az-zuhri Ketileng Semarang saat memberikan ''Pengajian Bakda Subuh'' kepada para santrinya di pondok pesantren putri itu, Sabtu (16/10) pagi lalu.

Saat itu topik yang dia bawakan pentingnya menjaga kelestarian alam ciptaan Allah SWT. Dalam penyampaiannya, Abah Ipul banyak menggunakan contoh kasus kerusakan lingkungan di Kota Semarang. Menurutnya, kondisi lingkungan kota ini telah rusak. Hal itu tak lain karena arogansi manusia yang tak mau mensyukuri nikmat Allah. Begitulah gaya Abah dalam menyampaikan pesan kepada para santrinya agar lebih menarik dan gampang dimengerti.

Tak heran, sepanjang dia berbicara, para santri tak mudah merasa bosan.

Seusai berceramah di masjid, para santri silih berganti menyalami Abah Ipul. Tepat di depan Masjid Al Hidayah, beberapa santri dan tamu duduk takzim di beranda rumah, menunggu Abah beranjak dari masjid.

Lisa, seorang anggota jamaah pengajian menuturkan, dia sering konsultasi dengan Abah Ipul. Topik dan pertanyaan yang diajukan mulai dari soal pekerjaan hingga masalah rumah tangga. Beberapa di antara mereka meminta doa kesembuhan dan obat dari Abah. ''Kami sering minta nasihat Abah kala harus mengambil keputusan karena kami menganggap Abah sudah seperti ayah,'' ucapnya.

Menjelang Ramadan, Pondok Pesantren Az-zuhri pun ikut berbenah. Bagi para santri, Ramadan berarti menambah aktivitas majelis taklim.

Selama 24 jam para santri mengikuti tujuh kali majelis taklim. Dimulai dari pengajian bakdasubuh, bakdaduha, bakdazuhur, bakda-asar, bakdamagrib, dan bakdaisya yang ditutup sekitar pukul 22.00. Tengah malam, para santri kembali mendatangi Masjid Baitul Hidayah untuk mengikuti mujahadah.

Di tengah hiruk pikuk perumahan di tengah kota, Az-zuhri kukuh memegang ajaran Salafiyah. Sejak didirikan Abah Ipul awal 1971, pesantren itu tidak mengajarkan pendidikan formal, tapi pendidikan informal. ''Pondok kami menerapkan ajaran Salafiyah dan model kuno. Jadi, hanya ngaji thok. Tidak ada lembaga pendidikan formal,'' terang Abah Ipul.

Uniknya, di antara ragam santri dari segala strata dan usia, sebagian justru berasal dari kalangan intelektual. Dosen, advokat, dan pejabat pemerintah daerah pun ikut nyantri di tempat ini.

Garis tegas akal, rasio, atau logika dalam keilmuan pun acap runtuh saat para santri menyelami kedalaman ajaran Salaf. ''Kebenaran di dunia adalah kesepakatan antarmanusia. Semua yang ada di dunia adalah nisbi, yang hakiki Allah semata,'' pesan Abah kepada para santri.

Barangkali kenisbian itu pula yang mengubah Abah Ipul berbalik 180 derajat dari kehidupannya semula sebagai seorang entertainer menjadi kiai. Bagi ayah lima putra kelahiran Sokaraja Banyumas, 13 Agustus 1951 ini, titik balik kehidupan itu tak pernah bisa dijelaskan dengan kata-kata. Putra KH Mudasir Zuhri ini juga tak mampu menjelaskan bagaimana dirinya bisa mengetahui isi kitab-kitab klasik macam Tafsir Jalalen, Syafrina, atau Tijan, padahal tak pernah menyentuhnya sama sekali. (Ninik D, Rukardi-89)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar