Minggu, 12 April 2009

Kompetensi Konsep Baru

Oleh JD Kuncoro

AKHIR-AKHIR ini kita semakin sering memperoleh asupan informasi yang mengandung kata kompetensi. Tampaknya beberapa pihak di negeri ini mulai berharap banyak terhadap konsep kompetensi untuk menyelesaikan masalah terpenting saat ini, yaitu kualitas sumber daya manusia (SDM).

Kata kompetensi memang bukan barang baru, namun dalam perkembangannya wacana tersebut mengalami berbagai pengka-yaan isi dan bahkan reposisi para-digma, sehingga kemudian kita kenal berbagai definisi tentang kompetensi yang muncul dari berbagai pakar manajemen, di mana dua definisi tidak selalu persis satu sama lain namun esensisnya sama.

Sebut saja definisi ala Hay Group, Mc Clelland, Boyatzis, Spencer & Spencer, Rotwell & Dubois, dll.

Namun sebelum saya masuk membahas tentang seluk beluk kompetensi, akan saya uraikan terlebih dahulu mengapa kompetensi menjadi penting akhir-akhir ini. Berangkat dari penelitian yang dilakukan oleh David Ber-ew dan Mc Clelland melalui McBer and Company di Amerika Serikat pada awal tahun tujuh puluhan terhadap para Foreign Service International Officers (FSIOs), yaitu para diplomat muda dari Departemen Luar Ne-geri Amerika Serikat yang bertugas mewakili negaranya di luar negeri.

Selama ini (maksud saya se-belum penelitian ini), rekrutmen terhadap mereka dilakukan me-lalui metoda rekrut yang standar, yaitu menggunakan ujian masuk Foreign Service Officer. Ujian masuk ini berisi pengetahuan tentang Negara Amerika Serikat dan pengetahuan khusus sesuai bi-dang masing-masing. Mereka yang dinyatakan lulus adalah me-reka yang memiliki nilai tinggi dalam ujian tersebut. Jadi yang menjadi penekanan di sini adalah nilai hasil ujian yang tinggi dija-dikan dasar utama dalam mere-krut pegawai. Apa yang terjadi kemudian? Ternyata perolehan nilai hasil ujian yang tinggi tersebut tidak ada hubungannya dengan prestasi kerja seseorang setelah diterima bekerja sebagai diplomat. Mereka yang diterima ternyata tidak semua menunjuk-kan kinerja yang sama baiknya dengan nilai ujian mereka. Me-mang ada yang kinerjanya baik, tetapi tidak kurang pula yang kinerjanya sedang-sedang saja sampai buruk.

Jika demikian apa masalahnya? Mengapa faktor kecerdasan bukanlah jaminan terhadap ki-nerja atau sukses seseorang da-lam bekerja? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menggelitik para peneliti di McBer and Company untuk melakukan studi le-bih lanjut mengenai hal ini. Mereka kemudian memulai penelitian ini dengan terlebih dahulu mengelompokkan para diplomat muda tersebut ke dalam dua ke-lompok, yaitu pertama, mereka yang berdasarkan data yang ada termasuk berkinerja tinggi, sangat berbakat dan berkemampuan tinggi atau yang disebut superior performer. Sementara kelompok yang kedua adalah mereka yang disebut kelompok mediocre atau yang kinerjanya sedang-sedang saja.

Para peneliti menggunakan metoda Behavioral Event Interview (BEI ) untuk mewawancarai mereka (para diplomat muda tersebut) secara mendalam dari sisi apa yang telah mereka laku-kan selama ini. Hasilnya me-mang sangat menarik, di mana ternyata memang terdapat perbedaan dari sisi karakter pribadi yang terwujud dalam perilaku kerja di antara mereka yang ber-kinerja tinggi dengan mereka yang berkinerja sedang-sedang saja. Bahkan perbedaan karakter dan perilaku tersebut sangatlah nyata secara statistik. Karakter-karakter yang mendasari perilaku untuk mencapai kinerja tinggi itulah yang kemudian disebut sebagai kompetensi.

Dari sini kemudian istilah kompetensi semakin popular dan mengalami berbagai pengkayaan isi, variasi serta fungsi. Penggunaan kompetensi sendiri di dalam organisasi juga semakin luas mencakup hampir kesemua fungsi manajemen sumber daya manusia.

Bagi saya, hal yang paling penting dari hasil penelitian tersebut adalah ditemukannya suatu tesis yang bisa menjawab dengan tepat suatu pertanyaan penting: Apa penyebab dari kinerja tinggi (superior performance)? Mengapa si A bisa berkinerja sedemiki-an baiknya sementara si B tidak?

Jawabannya jelas yaitu karena kompetensi.

Semakin Penting

Dari berbagai literatur yang menjelaskan tentang kompetensi, tampaknya terdapat kesepahaman bahwa kompetensi didefinisikan sebagai sekumpulan pe-ngetahuan, keterampilan dan si-kap (PKS) dan karakter pribadi yang lain, yang mendasari perilaku seseorang untuk menghasil-kan kinerja tinggi. Kompetensi tersebut haruslah bersifat observable (dapat diamati), measurable (dapat diukur) upgradeable (da-pat ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan) dan de-monstrable (dapat dibuktikan).

Dengan demikian menjadi jelas sekarang betapa pentingnya kompetensi bagi siapa pun, baik itu individu-individu seperti kita, organisasi-organisasi, perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN, lembaga-lembaga pemerintahan, bahkan bagi bangsa ini. Karena, ternyata dari kompetensi, kinerja dihasilkan. Dari kinerja, prestasi diperoleh. Dari kinerja, efisiensi dan efektifitas didapat.

Adakah tujuan lain dari proses berbangsa dan bernegara ini selain menghasilkan prestasi sebaik mungkin? Adakah suatu lembaga atau orgnaisasi yang bertujuan untuk tidak menghasilkan kinerja?

Jadi, menjadi jelas sekarang bahwa kompetensi merupakan jalan yang harus dilalui oleh bangsa ini untuk mencapai kesejajaran dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Karena kompetensi membuat persoalan-persoalan kualitatif menjadi kuantitatif. Dengan demikian menjadi lebih mudah diukur dan dikembangkan. Misalnya saja kualitas sumber daya manusia.

Dalam sudut pandang kompetensi, kualitas hanyalah soal level atau tingkatan. Anda berada di level kompetensi berapa. Bila masih di level tiga, padahal persyaratannya level enam, maka Anda harus meningkatkan kompetensi Anda menuju level enam.

Contoh lain adalah bila di dalam suatu lembaga angka pertikaiannya tinggi sehingga sangat mengganggu kinerja lembaga. Bagi kompetensi, itu hanyalah soal rendahnya kompetensi teamwork (kemampuan bekerja sama), rendahnya kompetensi relationship building (kemampuan membina hubungan), kurangnya integrity (integritas pribadi), rendahnya flexibility (kemampuan untuk beradaptasi dalam situasi yang berbeda) dsb.

Semua jenis kompetensi tersebut bisa diamati, bisa diukur dan bisa ditingkatkan. Maka semuanya menjadi lebih jelas bukan?

Sederhana? Memang tidak, karena dalam praktiknya memerlukan keterampilan-keterampilan yang tidak sederhana. Namun paling tidak, apabila alat yang kita gunakan untuk memperbaiki kualitas SDM itu jelas, dalam arti teknik penggunaannya sistematis, batasan-batasannya jelas, pengukuran hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, cara meningkatkannya juga realistis dan visible, niscaya hasilnya pun menjadi lebih menjanjikan. Maka tidak heran apabila pegawai negeri di Amerika dan Inggris juga telah menggunakan model kompetensi untuk mengelola SDM nya.

Mengapa di Indonesia tidak? Di sini memang baru pada tataran perusahaan, baik swasta nasional maupun BUMN yang telah menggunakannya. Namun saya kira kompetensi bisa mulai diperluas penggunaannya ke seluruh negara secara bertahap. Inilah langkah abad ini yang sangat relevan untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang pada dasarnya berakar dari rendahnya kualitas SDM kita.

Jalan Penghubung

Lantas apa yang terjadi dengan dunia pendidikan kita? Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia pendidikan formal kita memang belum mampu menghasilkan output dengan standard kompetensi yang diharapkan oleh pasar tenaga kerja. Inilah barangkali salah satu penyebab ironi di bidang ketenagakerjaan, di mana kita saksikan begitu besar angka pengangguran di negeri ini, tetapi di sisi lain tidak sedikit perusahaan swasta yang merasa kesulitan untuk mencari tenaga kerja sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan.

Perolehan kompetensi SDM kita, terutama pada ranah hard competency (knoledge & skill), memang selama ini dapat disediakan oleh pendidikan nonformal, seperti lembaga kursus, lembaga pelatihan, dan sebagainya. Namun alangkah indahnya apabila lembaga pendidikan formal juga menghasilkan output kelulusan yang mempunyai standard kompetensi sesuai permintaan pasar.

Kita memang telah mendengar suatu wacana tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sudah dirumuskan dan diujicobakan oleh lembaga pendidikan formal. Suatu berita bagus yang kita tunggu-tunggu hasilnya, apakah benar-benar dapat memperbaiki kualitas lulusan. Namun kualitas lulusan hasil dari Kurikulum Berbasis Kompetensi ini masih harus diuji oleh waktu. Apakah dapat memenuhi harapan atau tidak. Untuk itu perlu keterlibatan dunia bisnis swasta dan BUMN. Mereka perlu didengar dan diajak bicara, dalam rangka menyamakan bahasa dan persepsi antara kedua pihak, yaitu bagaimana kita memaknai SDM dari sisi kualitasnya. Jangan sampai lembaga pendidikan formal menjadi terlalu elitis dan bahkan mengasingkan dirinya dari dunia bisnis yang nota bene adalah customer mereka.

Inilah barangkali ironi kedua di mana antara provider (dunia pendidikan formal) dan customer-nya (dunia bisnis swasta dan BUMN) berjalan sendiri-sendiri, di tengah-tengah arus wacana yang sangat customer centric dewasa ini. Saya kira apa yang telah dilakukan oleh Unika Soegijapranata dengan membentuk Forum Bisnis bersama para pengusaha perlu diacungi jempol. Suatu bentuk kesadaran baru yang perlu terus-menerus diwacanakan.

Maksud dari tulisan ini sebenarnya tidak lain adalah untuk menemukan jalan penghubung antara dua tujuan yang sama namun berbeda arah, yaitu antara dunia pendidikan formal dan dunia bisnis swasta.

Melalui bahasa kompetensi, saya memandang kita dapat bergerak ke arah yang sama. Walaupun masih memerlukan proses panjang untuk menyamakan bahasa dalam memaknai arti kompetensi di antara kedua belah pihak, karena apabila kacamata yang digunakan berbeda, saya khawatir justru tidak cukup mempunyai daya ungkit untuk memperbaiki keadaan, yaitu bagaimana mempertemukan kualitas lulusan dunia pendidikan formal dan kualitas SDM yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja. (24)

JD Kuncoro, Direktur Competency Center, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar