Minggu, 12 April 2009

SETELAH diberlakukannya UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebagian besar pekerjaan rumah pemerintahan pusat menjadi urusan daerah termasuk di dalamnya masalah pendidikan, terlebih khusus pada pokok bidang man, money, dan material. Hanya kurikulum yang masih berpedoman pada kurikulum nasional, dan sebagian kecil saja yang diberikan pada daerah untuk mengembangkan potensi daerah melalui kegiatan kurikulum muatan lokal.

Pada bidang tenaga teknis lapangan terjadi kekurangan guru dalam jumlah besar yang tidak bisa diatasi seketika, baru melalui tahapan berupa program GTT, guru bantu, guru kontrak, guru wiyatabakti. Pada bidang keuangan masih mengandalkan pada pemerintah pusat yang didistribusikan lewat DAU dan DAK. Sedang pada bidang material meliputi sarana dan prasarana, baik berupa buku-buku, perlengkapan sekolah, dan bangunan gedung. Rusaknya ratusan gedung yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia - Khusus gedung SD - semakin menambah inventarisasi permasalahan pendidikan dan perlu penanganan secara holistik dan komprehensif.

Perubahan yang sangat dirasakan terjadi pada para pelaksana lapangan, guru tidak menjadi urusan pusat lagi, tetapi segala keperluannya menjadi bidang garapan pemerintah daerah, sesuai dengan otoritas kepemimpinan daerah. Bagaimana keberadaan guru setelah menjadi ''anak daerah"?

Suara guru di berbagai daerah berkenaan dengan dilimpahkannya segala urusan tenaga kependidikan pada Pemda Tk II pada intinya mengharapkan untuk ditinjau lagi. Hal ini disampaikan bukan tanpa alasan. Permasalahan tersebut dilatarbelakangi praktik-praktik lapangan yang dialami guru, seperti: Pertama, guru yang keberadaannya begitu banyak dianggap sebagai beban APBD di setiap daerah.

Kedua, sulitnya melaksanakan mutasi antarwilayahkarena terbentur aturan otonomi daerah.

Ketiga, munculnya peraturan daerah di berbagai wilayah yang bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat berkenaan tenaga kependidikan.

Guru SD, SLTP, SMU/K yang keberadaannya dijumpai di wilayah desa, kecamatan, hingga kota pada suatu daerah tingkat II memiliki akumulasi yang tidak kecil. Keberadaan tenaga guru ditambah PNS nonguru menjadi tanggungjawab masing-masing Pemda. Jika kedua kelompok ini dibuat grafik berbentuk batang, maka gambar puncak itu ada pada guru. Grafik ini memberikan kesan betapa besar tenaga guru yang menjadi tanggungan Pemda.

Para karyawan dinas pendidikan yang berasal dari PNS nonguru merasa dianaktirikan melihat tinggi dan cepatnya kepangkatan guru dengan sistem kredit poin. Kecemburuan ini berdampak pada apresiasi terhadap guru. Kesimpulan - bernada minor - pengeluaran penggajian untuk guru menyedot banyak keuangan APBD. Hal ini bertambah runyam jika Pemda dan DPRD menyetujui pendapat tersebut, sehingga muncul keputusan yang merugikan guru.

Seperti halnya di Semarang pernah muncul isu untuk menghapus kepangkatan guru sistem kredit poin dengan sistem reguler. Karena sistem kredit poin dianggap terlalu cepat naik pangkat - dua tahun dapat naik- yang hanya dianggap menguntungkan guru dan merugikan keuangan Pemda. Syukur, isu ini tidak berlanjut, dan sistem kredit poin tetap diberlakukan.

Ada pula daerah yang tidak segera memberikan kenaikan tunjangan fungsional atau gaji guru secara tepat waktu. Bahkan ada yang baru diberikan hak guru itu enam bulan berikutnya, itupun diberikan secara mencicil dua kali. Ada kesan alot Pemda untuk memberikan hak kepada guru. Padahal kalau kita cermati dana tersebut telah dikucurkan pemerintah pusat. Entah, diapakan dulu uang itu oleh Pemda.

Tugas guru yang tidak ringan ini akan menjadi lebih berat dan bahkan bisa menghancurkan keharmonisan rumah tangga bila mana dihadapi pilihan pelik untuk tetap kerja di tempat atau mutasi karena mengikuti kepindahan suami/ istri yang bekerja di lain kota. Mutasi merupakan perkara yang amat sulit pada saat otonomi daerah diberlakukan.

Daerah yang melepas meminta ganti, sedang daerah penerima mau menerima asal soal penggajian ditanggung daerah asal. Ini ibarat sisi mata uang yang mustahil bertemu.

Perkara ini tidak akan terjadi sebelum diberlakukan otonomi daerah. Ketidakluwesan antardaerah dalam menyikapi keberadaan guru menjadi ganjalan tersendiri bagi mobilitas tenaga kependidikan.

Gambaran ini berpengaruh pada motivasi dan semangat kerja guru dalam mengembangkan misi mencerdaskan bangsa yang belum terakomodasi pada tiap wilayah.

Untuk itu, reformasi pendidikan berkenaan dengan otonomi daerah perlu tata aturan lintas wilayah sehingga fleksibilitas yang memungkinkan kemudahan jika muncul kasus mutasi. Karena pada dasarnya mutasi dapat menguntungkan wilayah penerima, yakni terbaginya pekerjaan secara merata antarguru.

Secara umum, dunia pendidikan diuntungkan karena terjadinya proses perbandingan kemajuan yang berakibat pada berlombanya antarwilayah untuk bersaing secara sehat mencapai kualitas pendidikan yang lebih baik.

Kurangnya pemahaman Pemda terhadap dunia pendidikan -khusus tenaga guru- dapat dilihat pada produk aturan daerah yang kontroversial pada keberadaan guru. Kasus yang muncul di Purworejo, Boyolali, dan Grobogan yang dikenal dengan julukan "Badai Pensiun Guru" menjadikan para guru di wilayah tersebut tidak tenang dalam menjalankan tugas. Biangkerok terhadap permasalahan ini adalah munculnya peraturan daerah yang akan memensiunkan guru pada usia 56 tahun. Hal ini bertentangan dengan PP 32/ 1979, guru sebagai tenaga fungsional-profesional diberikan hak untuk pensiun pada usia 60 tahun. Mungkinkah peraturan daerah kedudukannya lebih tinggi dari peraturan pemerintah pusat ?

Kerancuan yang terjadi membutuhkan penanganan yang ahli dalam bidangnya. Adalah sangat tidak pas bila jabatan kedinasan dalam pendidikan dianggap sebagai jabatan politis, maka muncul seorang pejabat kepala dinas pendidikan berlatar belakang nonpendidikan.

Dengan demikian gerak kerja yang terjadi tidak sinkron terhadap kepentingan pendidikan. Mestinya guru sebagai tenaga profesional diberi hak dan wewenang untuk meniti karier. Bukan kemustahilan termasuk di dalamnya jabatan kepala dinas pendidikan. Adanya beberapa wilayah di Jateng sangat pelit - untuk tidak dikatakan rela- dalam memberikan kesempatan guru. Setiap muncul pejabat pendidikan baru, pengalaman sebagai guru adalah nol. Maka jangan heran hal seperti ini cenderung menimbulkan kasus dari pada solusi terhadap dunia pendidikan.

Pemda Bantul

Di tengah permasalahan yang dihadapi guru, muncul pula berita yang menggembirakan sebagaimana termuat dalam Kompas (10-4-2003), diberikannya kesempatan guru untuk mengikuti pendidikan S2 dengan biaya dari Pemerintah Kabupaten Bantul (DIY). Ini menunjukkan perhatian pemerintah daerah terhadap dunia pendidikan dan langka keberadaannya. Indikator ini memberikan pengertian bahwa pejabat Pemda Bantul memahami benar pentingnya investasi pendidikan untuk meningkatkan SDM yang akhirnya memberi kontribusi yang tidak kecil terhadap pembangunan daerah.

Perhatian terhadap guru juga ditunjukkan pada Pemda DKI Jakarta. Perhatian ini berupa pemberian tambahan tunjangan fungsional guru setelah tunjangan fungsional dari pemerintah pusat. Tambahan penghasilan ini dapat meningkatkan kesejahteraan guru. Efek ini berpengaruh pada semangat kerja guru dalam mendidik para siswa. Di tengah kehidupan Kota Metropolitan yang serba materialistik, kompensasi terhadap guru perlu diperhatikan. Sementara ini hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan tingkat primer.

Demikian halnya, perhatian itu datang dari pejabat Pemda Kendal. Sebuah kota kecil di Jawa Tengah mampu memperlengkapi setiap unit SD dengan sebuah sepeda motor untuk menambah mobilitas kerja guru. Lokasi bangunan sekolah yang tersebar dalam radius yang cukup jauh membutuhkan sarana tepat.

Dengan bantuan sepeda motor permasalahan kedinasan pendidikan akan lebih cepat terkafer untuk direspon, mempercepat hasil kerja.

Masih banyak Pemda yang tersebar di seluruh wilayah tanah air belum berbuat apa-apa terhadap dunia pendidikan yang telah menjadi tanggungjawabnya. Pendidikan masih dianggap bagian tugas rutin yang berjalan seperti yang sudah-sudah. Situasi ini kurang membawa pengaruh inovasi terhadap dunia pendidikan. Kepala daerah lebih menyibukan diri mengurus kemenangan pemilu bagi partanya dari pada mempersoalkan pendidikan. Baru kalau ada maunya, mereka mendekati guru.

Secara makro, kebijakan pendidikan menjadi wewenang Menteri Pendidikan beserta Dirjen Dikdasmen dalam menangani bidang pendidikan tingkat dasar hingga menengah. Aspirasi dan permasalahan guru membutuhkan penanganan. Ketidakberdayaan guru menghadapi "raja-raja kecil" pada tingkat pemerintahan daerah merupakan permasalahan serius dunia pendidikan.

Hal ini tak akan terpecahkan tanpa campur tangan pejabat pendidikan yang telah diberi wewenang. Posisi sebagai objek tanpa peran mempermudah guru ditarik-ulur sesuka hati. (18)

-Amos Musadi, S.Pd, guru pada SD Negeri Anjasmoro - Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar