Minggu, 12 April 2009

Mungkin lagu tersebut seiring zaman yang akan datang tak lagi berkumandang. Ya, gaji guru dan dosen sebagai pendidik sepertinya tak akan lagi dikebiri seiring pelaksanaan UU Sisdiknas yang salah satu turunannya adalah adanaya sertifikasi yang nantinya menjadikan guru dan dosen memiliki tunjangan profesi sebanyak satu kali gaji pokok.

Ketika nasib pendidik telah terangkat, akankah selesai semua persoalan dalam dunia pendidikan kita? Sepertinya tidak. Kita lihat saja kompetensi seorang pendidik yang ada sekarang. Sebagian besar masih jauh dari profesionalitas seorang pendidik. Bahkan, disinyalir dalam rangka pencapaian seorang guru dalam mendapatkan sertifikasi profesi, terlihat sangat jauh sekali dari kompetensi yang diharapkan.

Lihat saja, masih banyak saat ini dosen yang hingga usianya nyaris pensiun, gelar akademiknya hanya S1 saja. Mungkin jika parameternya gelar akan sangat sumir nanti penilaiannya. Namun coba pula tengok dengan gaya mengajar, metode, serta sumber ajar yang mereka gunakan. Masih banyak yang terkesan memakai itu-itu saja, bahkan buku-buku referensi dan modul yang digunakan kebanyakan telah usang dimakan usia, tak lagi ter-up date dan telah jauh dari relevansi zaman.

Di kalangan guru, lebih parah lagi. Tak jarang guru-guru yang sekarang ini masih mengajar, dari sisi akademik, mereka entah lulusan dari mana. Pun demikian dengan mereka yang berkesempatan maju dalam proses sertifikasi, mereka seakan tak membekali diri dengan kompetensi yang selaiknya dimiliki seorang profesional, namun mereka lebih sibuk untuk berburu skor dengan mengikuti aneka seminar-seminar ilmiah, yang mereka hanya duduk, diam, terkadang malah hanya titip nama untuk mendapatkan sertifikat, guna melengkapi berkas porto folio mereka. Tak ayal, seminar-seminar dan pelatihan ilmiah yang tadinya sepi, kini seakan diburu oleh para guru demi memperoleh selembar sertifikat.

Mengenai budaya riset pada pendidik, apa lagi. Menurut Dody Nandika, Sekretris Jendral Pendidikan Tinggi, rukun pendidikan yang salah satunya sebagai pendidik harus bisa melakukan discovery untuk kemudian mempublikasikannya, masih sangatlah rendah. Para pendidik bahkan masih banyak yang untuk sekadar membuat karya ilmiah saja terkadang kebingungan. Padahal aneka permasalahan dalam pendidikan senantiasa berada di sekitar mereka, menunggu jawaban dan pemecahannya. Meski, ada pula yang sebaliknya, terlalu mengejar proyek penelitian, hingga lupa melaksanakan kewajibannya mengajar di kelas.

Simalakama sertifikasi pendidik mau tidak mau memang harus kita lalui bersama, karena hal itu merupakan salah satu langkah maju didalam dunia pendidikan. Tinggal bagaimana kita memilah mana siungan buah yang manis untuk terus ditumbuhkembangkan, sekaligus membuang siungan buah yang busuk.

Sebagai contoh, para asesor dalam menilai porto folio haruslah benar-benar teliti agar tidak diakali dan kecolongan data yang ternyata tak sesuai fakta. Kalau perlu diadakan tes kejujuran dalam penyususnan porto folio yang ada.

Perlu juga diadakan survei kepada peserta didik mengenai tingkat kepuasan si pendidik dalam pembelajaran, agar jangan sampai pendidik yang bersertifikat ternyata pendidik yang tidak diterima oleh para peserta didik.

Memang akan sangat merepotkan untuk mendapatkan sebuah data pendidik yang layak mendapatkan sertifikat profesi di tengah sistem pendidikan yang masih karut marut seperti sekarang ini. Namun bukankah sesuatu yang manis akan terasa lebih manis ketika proses pencariannya lebih sulit? Bagaimanapun simalakama sertifikasi semacam ini harus terus menerus diolah, agar tak berubah menjadi buah khuldi yang merugi bagi sistem pendidikan kita.

Heni PurwonoDirektur Eksekutif Pusat Studi Penelitian Sejarah dan Sosial (PUSPLESS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar